Lebaran akhirnya tiba, dan suasana riang gembira menyelimuti kampung. Pagi itu, aroma ketupat bercampur kuah opor ayam menguar dari dapur; pakaian baru tersusun rapi dengan setrikaan kinclong; dan toples-toples kudapan ringan berjejer manis di meja tamu, siap menyambut siapa saja yang bertandang.
Semua tampak sempurna, kecuali di rumah Bu Elis Markonah, ibunya Imron Rivaldi. Pagi Lebaran yang seharusnya penuh damai malah diwarnai ekspresi was-was di wajah Bu Elis. Imron, sang anak, belum juga pulang dari masjid, padahal waktu salat Id sudah di depan mata.
Dengan langkah tegas bercampur dongkol, Bu Elis menyusul ke masjid, dan apa yang ditemuinya? Imron tertidur pulas di pojokan, ditemani suara takbir yang kini hanya jadi latar samar. Tanpa basa-basi, ia menyiram Imron dengan air sambil mengomel, “Bangun, Lebaran kok malah molor!”
Imron tersentak. Matanya merah, badannya lelet bergerak. Bukan tanpa alasan. Semalaman ia larut dalam euforia takbir keliling, ngobrol seru bareng temen masa kecil, plus mabar Mobile Legends di serambi masjid sampai subuh. Total waktu tidurnya hanya satu setengah jam, itu pun penuh mimpi aneh tentang ketupat terbang yang jadi kendaraan makhluk luar angkasa.
Dengan setengah sadar, Imron bergegas mandi, memakai baju koko baru yang kece abis, lalu berangkat ke lapangan SMP Muhammadiyah, tempat salat Id digelar. Ia memilih jalan kaki bareng rombongan, sengaja melambatkan langkah untuk menikmati nostalgia masa-masa kecil.
Di sepanjang jalan, Imron memandang pohon-pohon yang berdiri tegak, tak bergoyang sedikit pun. Teringat video TikTok yang pernah dilihatnya bahwa pagi hari Lebaran selalu tenang, angin seperti pada libur. Dan memang, pagi itu sunyi, damai, seperti alam ikut khusyuk menyambut hari kemenangan.
Pukul 06:20 WIB, Imron sudah duduk bersila di lapangan. Sesekali ia menoleh ke belakang, bukan untuk mencari teman, tapi, jujur saja, mencuri pandang ke deretan hijabers dengan jilbab warna-warni. Matanya sibuk mencari Dinda Hafsah Mewangi, junior di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang katanya punya senyum manis. Sayang, tak ketemu.
Salat Id pun dimulai, dan Imron khusyuk mengikuti, meski sesekali pikirannya melayang ke opor ayam yang menanti di rumah.
Usai salat, khatib naik mimbar. Ada kalimat yang nyantol di kepala Imron: “Ungkapan tattaqun dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 bukan takwa sebagai gelar, tapi proses menuju perilaku lebih baik. Takwa itu perjalanan, bukan stempel.” Dalam hati Imron bergumam, “Wah, dalem banget.”
Khutbah selesai, jamaah berbaris saling maaf-maafan. Terlihat mengular panjang, semua orang berjejer. Tapi Imron memilih kabur pulang karena nanti di kampung ketemu lagi. Sesuai sunnah, ia pulang lewat jalan berbeda.
Sampai rumah, Imron bersalaman hangat dengan Pak Engkos Kosasih, ayahnya, Bu Elis, dan adiknya, Ilyas Ibrahim. Suasana rumah penuh kehangatan dan kebersamaan. Imron langsung menyantap opor buatan Bu Elis, lahap banget, saking enaknya, saking endolnya.
Siang menjelang, saatnya bagi-bagi THR dari paman dan bibi. Tapi tiga tahun terakhir ini, Imron tidak mendapatkan jatah THR karena dianggap bukan anak kecil lagi. Padahal, di usia 20 tahunan, ia merasa justru paling berhak.
Tiba-tiba, suasana riuh reda. Keluarga Dinda Hafsah Mewangi datang bertamu. Jantung Imron langsung kencang. Dinda muncul dengan gamis nyaris sempurna, aura muslimah spek “yali yalili” terpancar jelas. Mata mereka bertemu, Dinda malu-malu, Imron salah tingkah.
“Wah, Imron udah gede ya,” ujar Pak Bambang Setiadi, ayah Dinda.
“Iya, kayaknya udah siap nikah nih,” goda Bu Aisyah Halimah, ibunya Dinda.
“Alhamdulillah, silakan dinikmati,” balas Bu Elis, entah maksudnya makanan atau Imron karena suasana sudah sangat kikuk sekali tidak terkontrol.
Imron cuma bisa nyengir kaku, tangannya sibuk memainkan sendok kosong, pura-pura sibuk ngaduk teh yang sudah habis. Dinda, di sisi lain, sibuk menunduk, pura-pura memperhatikan motif karpet, padahal pipinya sudah merona merah.
Setelah prosesi silaturahmi ke tetangga dan orang-orang di kampung, Imron merasa kelelahan. Badannya lelet, matanya berat, dan pikirannya masih penuh dengan bayang-bayang Dinda. Ia memutuskan tidur siang, berbaring di kasur sambil memeluk guling.
Perlahan, Imron terlelap. Dalam mimpi, ia bertemu Dinda di tengah ladang ketupat raksasa. Dinda tersenyum manis, lalu tiba-tiba ketupat-ketupat itu berubah jadi UFO dan membawanya terbang. “Lagi-lagi mimpi aneh,” pikir Imron dalam tidurnya, tapi ia pasrah menikmati.
Tiba-tiba, sore hari menjelang. Imron terbangun dengan kepala pening dan rasa haus yang luar biasa. Ia sadar sudah Lebaran, bukan Ramadan lagi, jadi buru-buru mengambil segelas air dingin dari kulkas dan meneguknya sampai habis. “Hidup kok rasanya beda ya,” gumamnya sambil mengucek mata.
Imron melangkah ke depan rumah, memandang jalanan kosong, dan merasa ada yang hilang. Perasaan itu benar-benar tidak normal. Sore hari Lebaran seperti membawa kehampaan yang aneh, campuran lega karena puasa selesai, tapi juga kosong karena rutinitas sebulan penuh tiba-tiba lenyap.
Tak ada anak-anak yang biasanya berlarian membawa mangkok untuk minta takjil ke tetangga, tak ada remaja yang nongkrong di pinggir jalan sambil main gitar dan nyanyi lagu galau, tak ada ibu-ibu yang buru-buru pulang dari pasar dengan plastik berisi kolang-kaling.
Masih dengan perasaan tidak normal, Imron duduk di teras, memandang langit yang mulai jingga. Awan-awan tipis bergerak pelan, seolah tak punya tujuan, mirip seperti perasaannya saat ini. Angin sore bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma samar ketupat dan rendang dari rumah tetangga, tapi entah kenapa, semua itu tak lagi terasa istimewa.
Tiba-tiba, suara adzan Maghrib menggema dari masjid di ujung kampung. Lantunan “Allahu Akbar” yang khas itu terdengar merdu, dibawa angin hingga masuk ke telinga Imron. Biasanya, di bulan Ramadan, suara ini adalah puncak penantian seharian.
Tapi kini? Sepi. Tak ada rutinitas buka puasa yang meriah lagi. Meja makan di dalam rumah hanya diam memandangnya, penuh sisa opor dan ketupat yang sudah tak disentuh sejak siang. Imron menghela napas panjang, merasa ada lubang kosong di dadanya yang tak bisa dijelaskan.
Dengan langkah gontai, Imron memutuskan pergi ke masjid. Bukan karena semangat ibadah yang tiba-tiba membuncah, tapi lebih karena rasa kehampaan yang mendorongnya mencari sesuatu, entah apa. Ia berjalan pelan menyusuri jalan setapak.
Sepanjang perjalanan, Imron memandang rumah-rumah tetangga. Jendela-jendela terbuka, tapi tak ada suara ceria seperti biasanya. Lampu-lampu mulai menyala perlahan, menyambut malam pertama Lebaran, tapi suasananya tetap terasa hampa di matanya. “Ini Lebaran atau bukan, sih?”
Sampai di masjid, Imron disambut pemandangan yang kontras dengan perasaannya. Masjid masih ramai, seperti biasa. Jamaah berpakaian rapi, baju koko putih, sarung bermotif, dan peci hitam, berbaris rapi mengikuti salat Maghrib. Semua tampak hidup, penuh semangat, seperti masjid yang sama yang ia kenal sepanjang Ramadan. Tapi entah kenapa, di hati Imron, ada perasaan yang tidak normal.
Mungkin euforia Ramadan itu sendiri, penantian buka puasa, kebersamaan ngabuburit, atau bahkan candaan kecil soal siapa yang paling cepat habisin takjil. Lebaran, yang seharusnya jadi puncak kemenangan, malah terasa seperti akhir dari sebuah petualangan panjang, meninggalkan Imron dengan kekosongan yang tak ia duga.
Usai salat, Imron duduk sebentar di serambi masjid, memandang jamaah yang mulai berpencar. Ada yang buru-buru pulang, ada yang masih mengobrol santai sambil menikmati kopi dari termos yang dibawa Pak Lurah. Imron memandang langit yang kini sudah gelap, bintang-bintang mulai bermunculan di antara sisa-sisa jingga yang memudar.
“Semoga tahun depan bisa bertemu denganmu kembali, Yaa Ramadan. Baru aja ditinggal, udah rindu lagi.”
#KontrakanImron