MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Bachtiar Dwi Kurniawan mengajak jamaah untuk merenungi makna turunnya kitab suci serta relevansinya dalam kehidupan umat Islam hingga akhir zaman.
Ajakan tersebut Bachtiar sampaikan dalam ceramah tarawih pada Kamis malam (13/03) di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ia mengawali ceramahnya dengan mengutip Al-Baqarah ayat 185: “Syahru Ramadan alladzi unzila fihil Qur’an, hudan linnas wa bayyinat min al-huda wal furqan”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa Ramadan adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an sebagai petunjuk, bukti nyata kebenaran, dan pembeda antara hak dan bathil. “Ramadan dikenal sebagai bulan Al-Qur’an, dan di dalamnya ada dua peristiwa besar yang sering kita bicarakan: Lailatul Qadar dan Nuzulul Qur’an,” ujarnya.
Beliau menjelaskan bahwa turunnya Al-Qur’an terjadi dalam dua fase. Fase pertama adalah dari Lauhul Mahfuz ke Baitul Izzah, yang bertepatan dengan malam Lailatul Qadar.
“Istilah ‘lebih baik dari seribu bulan’ muncul saat kaum Muslimin kagum mendengar seorang Yahudi mengaku beribadah tanpa henti selama seribu bulan. Lalu turunlah Surah Al-Qadr sebagai kabar gembira: satu malam ibadah di Lailatul Qadar melebihi itu,” paparnya.
Ia menambahkan, “Ojo gumunan, ojo kagetan, jangan takjub berlebihan, karena Allah beri kita malam yang luar biasa ini.”
Fase kedua, lanjut Bachtiar, adalah penurunan Al-Qur’an secara bertahap dari Baitul Izzah ke Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Peristiwa ini diawali dengan turunnya Surah Al-‘Alaq ayat 1-5 (Iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq) di Gua Hira.
Namun, ia menyoroti bahwa berdasarkan Surah Al-Anfal ayat 41, momen penting lainnya terjadi pada 17 Ramadan, saat Perang Badar, disebut Yaumal Furqan, yang menandai pertemuan dua pasukan, Muslimin dan Musyrikin. “Inilah yang kita peringati sebagai Nuzulul Qur’an pada tanggal 17 Ramadan,” tegasnya.
Bachtiar menekankan bahwa Lailatul Qadar dan Nuzulul Qur’an, meski berbeda, tidak perlu diperdebatkan. Keduanya adalah anugerah dalam Ramadan yang mengajak umat Islam meningkatkan ibadah, khususnya di 10 hari terakhir bulan suci.
“Mari isi Ramadan dengan amalan terbaik, karena inilah bulan istimewa yang Allah pilih untuk menurunkan pedoman hidup kita,” ajaknya.
Lebih jauh, beliau menggarisbawahi Al-Qur’an sebagai way of life, pedoman utama yang harus menjadi rujukan dalam segala aspek kehidupan. “Al-Qur’an adalah sumber inspirasi, pedoman, dan kebenaran. Muhammadiyah, yang menisbahkan diri sebagai gerakan aruju ila Al-Qur’an wa Sunnah, tidak boleh melupakannya,” ungkapnya.
Ia mengajak jamaah, khususnya generasi muda, untuk mencintai, mempelajari, dan mengamalkan Al-Qur’an, sebagaimana sabda Nabi: “Khairukum man ta’allamal Qur’an wa ‘allamahu”, sebaik-baik kalian adalah yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an.
Dengan penuh keyakinan, Bachtiar menegaskan bahwa Al-Qur’an akan tetap relevan sepanjang zaman. “Al-Qur’an tidak akan pernah kering dari makna. Ia shalih fi kulli zaman wa makan, cocok di setiap waktu dan tempat. Ini sumber hidup sejati untuk sukses di dunia dan akhirat,” katanya.
Ia juga mengingatkan jamaah untuk menanamkan kecintaan pada Al-Qur’an kepada anak-cucu, agar warisan keimanan terus terjaga. “Semoga kita diberi kekuatan untuk terus mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an,” pungkasnya.