Malam itu, di sepuluh hari terakhir Ramadan, Imron Rivaldi sedang khusyuk mengaji Al-Qur’an di sudut masjid. Matanya menyipit, mulutnya komat-kamit, dan jari kecilnya menelusuri ayat-ayat suci dengan penuh konsentrasi. Sesekali, ia melirik ke sekeliling, memastikan ia satu-satunya yang masih terjaga.
Suasana syahdu itu mendadak pecah. Tiba-tiba, Imron dikagetkan oleh sesuatu yang muncul dari belakang.
Sosok itu bercahaya, wajahnya bersinar, dan pakaiannya memantulkan kilau yang sulit dijelaskan. Apakah cahaya itu harus selalu putih seperti di film-film religi? Entah, Imron tak peduli. Yang ada di pikirannya saat itu hanya satu: “Ini pasti malaikat Jibril! Aku dapat wahyu!”
Kejadian itu terjadi 13 tahun lalu, saat Imron masih berusia tujuh tahun. Sekarang, Imron duduk bersila di lantai kos bersama dua temannya, Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar. Dengan penuh percaya diri, ia menceritakan pengalaman “mistis” itu. Tapi ada satu hal yang ia sembunyikan: cerita itu murni karangan, cuma buat gaya-gayaan biar dianggap layak jadi nabi atau rasul.
“Terus apa respon ibumu waktu kamu sampe sepolos itu cerita ketemu Jibril?” tanya Nuriel, penasaran.
Imron menceritakan bahwa sepulang dari masjid bersama ayahnya, ibunya tengah sibuk menyiapkan menu sahur. Ayahnya langsung menyambung tidur di rumah, sementara Imron langsung menemui ibunya di dapur. Wangi kaldu ayam memenuhi ruangan. Ibunya tengah menyeruput kuah soto, memastikan rasanya sudah pas.
Tanpa basa basi, Imron langsung mengaku ketemu Jibril.
Ibunya sedang asyik menyeruput kaldu ayam yang ia masak, memastikan rasanya sudah pas. Tapi begitu mendengar ucapan Imron, refleks ia menyemburkannya dengan kekuatan penuh. Wajah Imron seketika berubah jadi kuah soto.
“Mamah!”
Ibunya menatap Imron dengan mata terbelalak. “Kamu tadi bilang apa?”
Sambil mengelap wajahnya dengan lengan baju, Imron mengulang dengan penuh keyakinan, “Aku habis didatangi Malaikat Jibril!”
Ibunya terdiam sejenak. Lalu, dengan suara gemetar, ia bertanya, “Terus, Jibril bilang apa?”
Imron membusungkan dada. “Kata Jibril, bacalah! Sampai tiga kali.”
Ibunya sontak terperanjat. Matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Imron erat. “Kamu yakin seperti itu?”
“Iya, Mah!”
“Terus gimana lagi?”
“Aku bilang, ‘Apa yang harus kubaca?’” Imron jeda sejenak, lalu lanjut, “Kemudian turun QS Al-‘Alaq.”
“Kamu bisa hafal surat itu?”
“Bisa, Mah!” Kemudian Imron membacakan QS. Al-‘Alaq ayat 1 hingga 5 di depan ibunya.
“MasyaAllah, Nak…”
Malik dan Nuriel yang dengar cerita ini cuman bisa geleng-geleng kepala. “Jadi kau bohong gitu doang buat jadi nabi?” tanya Nuriel, masih nahan tawa.
“Iya lah, waktu bocil, aku obsessed banget jadi nabi atau rasul. Mamahku kan sering cerita soal mereka, aku pikir, ‘Wah, keren banget!’ Jadi aku bikin cerita biar disangka hebat,” aku Imron sambil cengengesan.
Malik mengusap wajahnya, masih tak habis pikir. “Kau pikir bisa jadi nabi cuma karena ketemu ‘Jibril’?”
“Bocil mana paham kalau nabi terakhir udah diutus,” sahut Imron santai. “Pokoknya dulu aku pengen banget jadi kayak mereka. Superhero favoritku bukan Superman, Ironman, atau Thor. Aku lebih terinspirasi sama Musa yang bisa membelah laut, Isa yang bisa menyembuhkan orang sakit, atau Sulaiman yang bisa bicara dengan hewan.”
Malik menyeringai. “Terus, kapan sadar kalau kau cuma halu?”
Imron tertawa kecil, lalu melanjutkan. “Itulah hebatnya si Mamah. Dia nggak langsung bilang aku bohong atau marah. Dia dengerin aku, peluk aku, hargain cerita aku, meski mungkin dalam hati dia ketawa atau bingung.”
Imron menceritakan bahwa ibunya tidak buru-buru mematahkan imajinasinya. Sebaliknya, ia justru membiarkan anaknya berproses memahami dunia dengan caranya sendiri. Ia sadar betul bahwa “wahyu” versi Imron waktu kecil cuma imajinasi liar seorang bocah yang terpesona oleh kehebatan para nabi.
“Studi psikologi memang bilang ternyata memang menghargai imajinasi anak kecil itu penting banget. Siapa tahu, dari cerita-cerita liar kayak gitu, anak bisa tumbuh jadi orang yang kreatif, meski ya, nggak jadi nabi beneran,” ujar Imron.
Tapi di balik itu, Imron tahu satu hal: superhero sejati dalam hidupnya bukan manusia super dari komik atau film; tapi para utusan Allah yang kisahnya abadi, menginspirasi, dan, tentu saja, jauh lebih epik serta nyata adanya.
Para nabi dan rasul menghadapi ujian sesungguhnya: Musa menghadapi penguasa lalim seperti Fir’aun, Isa menyembuhkan orang sakit dengan izin Allah, Sulaiman menguasai jin dan hewan, hingga Nabi Muhammad yang membawa risalah terakhir dengan penuh kesabaran. Tak ada CGI, tak ada efek visual. Semua terjadi dalam kehidupan nyata, membentuk sejarah dan mengubah dunia.
Dulu Imron ingin jadi nabi. Sekarang, ia hanya ingin meneladani laku kehidupan mereka. Mungkin bukan membelah laut atau bicara dengan hewan, tapi setidaknya, ia bisa mulai dengan satu hal sederhana: membaca dan memahami firman Tuhan dengan hati yang bersih.
Malam itu, di kos kecilnya, setelah berbusa-busa menceritakan masa kecilnya, Imron kemudian mengajak Malik dan Nuriel untuk i’tikaf di masjid. Tanpa banyak tanya, keduanya bangkit. Dengan jaket tipis dan sarung yang masih terlipat rapi di pundak, mereka berjalan melintasi gang sempit, menyusuri jalanan sunyi menuju masjid di daerah Tamantirto, Bantul.
Setibanya di sana, suasana masjid begitu hening. Hanya terdengar lantunan pelan ayat suci dari beberapa jamaah yang masih terjaga. Mereka larut dalam munajat. Lampu masjid yang temaram menambah ketenangan, menciptakan atmosfer yang penuh kekhusyukan.
Di masjid itu, Malik dan Nuriel langsung mencari spot strategis. Begitu menemukan colokan, mereka duduk nyaman di dekatnya, membuka ponsel, dan mulai berselancar di dunia maya. Keduanya sibuk mengatur kecerahan layar agar tidak terlalu mencolok di tengah cahaya masjid yang temaram.
Sementara itu, Imron memilih sudut masjid yang agak redup, tempat ia bisa tenggelam dalam ayat-ayat suci tanpa gangguan. Matanya menyipit, mulutnya komat-kamit, jari-jarinya telaten menelusuri lembaran mushaf. Sesekali, ia mengangkat kepala, memastikan hanya segelintir orang yang masih terjaga.
Hening. Tenang. Syahdu.
Lalu, tanpa peringatan, suasana itu berubah. Sebuah kehadiran aneh menyusup di belakangnya.
Imron menahan napas. Ada sesuatu. Sosok bercahaya, dengan wajah bersinar dan pakaian yang memantulkan kilau yang sulit dijelaskan. Apakah cahaya itu selalu putih seperti dalam film-film religi? Entahlah. Imron tak sempat berpikir panjang.
Satu hal yang melintas di benak Imron: “Malik pasti lagi iseng, cosplay jadi malaikat Jibril!”
#KontrakanImron