Suatu sore yang mendung, Imron Rivaldi bersandar di dipan kayu lusuh di kamar kosnya, menatap kipas angin yang berputar malas. Di sampingnya, Malik Senja Ramadan duduk bersila dengan tatapan kosong ke layar ponselnya.
“Berimajinasi jadi orang lain itu bisa semacam piknik buat batin kita,” gumam Imron tiba-tiba, suaranya datar seperti pemuda yang doyan naik gunung yang mendadak menjadi filsuf kehidupan. “Kadang jiwa ini bosan jadi dirinya sendiri.”
Malik menoleh dan tertawa kecil. “Setuju. Aku pernah bayangin jadi Momonosuke.”
Namun Imron menggeleng. “Karakter anime mesum nggak relatable. Susah ditiru!”
Dan di kamar kos yang pengap itu, dua mahasiswa ini pun melanjutkan piknik batinnya, masing-masing menjelajahi dunia imajinasi tanpa harus keluar dari sepetak ruang sempit.
Imron punya imajinasi yang lebih ambisius. Ia membayangkan dirinya sebagai Elon Musk, manusia paling tarjir melintir di seantero bumi. Kekayaan yang, dalam pikirannya, mungkin tak akan habis dikuras sampai kiamat kubro sekalipun.
Tapi menjadi Elon Musk hanya membawanya kepada khayalan material. Maka, ia kemudian terbang lebih jauh: menjadi Neil Armstrong. Dalam benaknya, sebagai Armstrong, ia akan berjalan di bulan dan menancapkan bendera dengan tulisan nama seorang Ukhtivis IMM yang ia sukai. Sebuah cara manis untuk merealisasikan idiom: “I love you to the moon and back.”
Namun, imajinasi itu berubah menjadi lebih membumi ketika kepala Imron melompat ke tokoh yang sangat ia kagumi: Prof Haedar Nashir.
Membayangkan diri sebagai Prof Haedar bukan lagi soal fantasi yang abstrak. Kali ini, ada yang lebih nyata untuk ditiru. Bukan, bukan sebagai Ketua Umum Muhammadiyah yang harus sibuk melanglang buana, melainkan kebiasaan-kebiasaan personalnya yang sangat potensial untuk Imron ikuti yaitu: membaca, menulis, dan berpikir.
Menurut Imron, Haedar Nashir adalah salah satu manusia paling kutu buku di Indonesia. Dalam setiap ceramahnya, ia selalu mengutip buku, kadang lebih dari empat buah. Prof Haedar juga dikenal sebagai pembaca buku garis keras, ia bisa membaca di mana saja: di gerbong kereta, di atas pesawat, atau di dalam mobil.
Tanpa pikir panjang, Imron langsung bangkit dari tempat tidurnya dan bergerak menuju pintu.
“Mau ke mana?” tanya Malik dengan dahi mengernyit.
“Naik bus.”
“Ngapain?”
“Menjadi Haedar Nashir.”
“Apa hubungannya?”
Imron tidak menjawab. Ini akan jadi perjalanan spiritual, bisiknya dalam hati. Ia meraih buku tebal Guns, Germs, and Steel karya Jared Diamond dan memasukannya ke dalam tas bersama laptop. Karena dalam pikirannya, menjadi Haedar Nashir harus membawa buku yang serius, buku yang membahas peradaban manusia. Sampai di terminal, ia memilih bus secara acak dan naik.
Di dalam bus, Imron mulai membuka buku. Halaman pertama ia lahap dengan tenang. Halaman kedua mulai terasa berat. Halaman ketiga, tulisannya menari-nari di depan mata. Halaman keempat, kepalanya goyang mengikuti ritme irama jalan yang bergelombang. Halaman kelima… gelap.
Imron terbangun dengan kepala pening dan air liur menempel di halaman bukunya. Bus sudah hampir kosong. Ia mengusap wajahnya yang lengket dan menoleh ke luar jendela.
Matanya membelalak.
“CIREBON?!”
Imron mengedarkan pandangan dengan panik. Spanduk, baliho, rambu jalan, semuanya bertuliskan nama kota yang sama. Ia terlonjak, duduk tegak, lalu menepuk-nepuk kantong celananya, memastikan dompet dan ponselnya masih ada.
“Demi apa aku nyasar sejauh ini?!” gumamnya.
Tapi Imron belum menyerah. Ia menuruni bus dan menghela napas dalam-dalam hinggap di stasiun kereta Cirebon, berharap ada keajaiban. Setelah cek pakai aplikasi KAI, ia hampir tak percaya, kebetulan ada tiket ke Yogyakarta!
Imron menghela napas panjang. Setidaknya, kali ini nasib berpihak padanya. Ia duduk di bangku tunggu, mencoba menenangkan diri. Tapi, obsesinya untuk menjadi Haedar Nashir masih menyala, belum reda. Jika membaca di perjalanan tidak berhasil, mungkin ia bisa mencoba kebiasaan Prof Haedar yang lain: menulis.
Imron tahu betul bahwa Prof Haedar adalah penulis produktif, karyanya begitu banyak, dari buku referensi akademik hingga artikel reflektif di Suara Muhammadiyah. Beliau bisa menulis di mana saja: di gerbong kereta, di atas pesawat, atau di dalam mobil. Jika Prof Haedar bisa, maka ia juga harus bisa.
Dengan semangat baru, Imron duduk di kereta api Jayabaya, membuka laptopnya, dan mulai mengetik. Jemarinya menari di atas keyboard. Ia merasa mulai seperti kerasukan roh Haedar Nashir. Menulis di kereta baginya lebih enteng dibanding membaca di bus.
Setelah beberapa kali menghapus dan mengedit, akhirnya jadilah satu paragraf utuh. Tidak terlalu bagus memang, tapi cukuplah untuk membuatnya merasa telah melakukan sesuatu yang berarti bagi bangsa dan negara.
Awalnya, segalanya berjalan lancar. Tapi selang beberapa menit, ada sesuatu yang tidak beres. Usus 12 jari Imron seperti mulai berjoget. Nasi padang, tempe bacem, sayur lodeh, dan jeruk nipis, semua berkonspirasi di perutnya. Mereka berontak, ingin keluar lewat jalur darurat.
Imron menelan ludah. Ia menutup laptop dengan panik dan menarik napas panjang. Ia akhirnya menyerah. Mengambil jalan tidur adalah sikap yang paling manusiawi untuk seseorang yang tidak mengawali ritual minum antimo sebelum naik moda transportasi.
Tanpa terasa, Imron memilih tidur.
Tapi apa yang terjadi?
Ketika Imron membuka mata, suasana sudah berubah. Udara terasa lebih dingin. Suara khas pengumuman stasiun menggema di telinganya. Ia mengusap wajah dan menoleh ke luar jendela.
Matanya membelalak lebih besar dari sebelumnya.
“MALANG?!”
Spanduk, baliho, dan plang jalan semua bertuliskan kota itu.
“Demi apa aku nyasar makin jauh?!”
Turun dari kereta, Imron duduk di stasiun. Ia mengecek jadwal kereta dari Malang menuju Yogyakarta. Namun hasilnya nihil. Perjalanan baru tersedia esok hari. Ia pun bergegas mencari transportasi lain. Sampai di terminal, ia menatap kosong ke arah papan jadwal bus. Sayangnya papan jadwal itu menunjukkan tidak ada bus yang berangkat ke Yogyakarta malam itu.
Padahal, besok ada ujian penting yang jika ia tidak hadir, otomatis harus mengulang di semester depan.
Jantungnya berdegup lebih kencang. Di tengah deru mesin bus, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel, dan segera menekan nomor Malik.
“Lik, tolong, aku nyasar siang tadi di Cirebon sekarang di Malang!”
“Hah? Kok bisa?”
“Nggak ada waktu jelasin! Aku butuh duit buat beli tiket pesawat ke Jogja!”
Malik menghela napas panjang. “Hadeeeh, dasar bocah impulsif,” katanya, tapi tetap mentransfer uang ke rekening Imron.
Dalam waktu singkat, Imron sudah duduk manis di kursi pesawat, bersyukur bahwa Wibu satu itu selalu bisa diandalkan. Ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mengatur napas. Setelah melalui perjalanan darat yang berakhir dengan bencana, kini ia ingin menikmati perjalanannya di udara.
Tiba-tiba, obsesinya kembali muncul. Jika membaca dan menulis tidak bisa ia lakukan, maka ia akan mencoba kebiasaan Prof Haedar Nashir yang lain: berpikir.
Menurutnya, berpikir adalah aktivitas yang paling mudah ditiru. Ia tidak butuh buku tebal atau laptop, hanya butuh kepalanya sendiri. Dan tentu saja, Prof Haedar adalah pemikir yang mendalam. Salah satu gagasan besarnya adalah pentingnya moderasi sebagai solusi atas radikalisme. Pemikiran ini tidak hanya diapresiasi di Muhammadiyah, tetapi juga oleh berbagai kalangan.
Di ketinggian 30.000 kaki itu, Imron pun mulai berpikir keras.
Setelah mendarat di Yogyakarta, Imron segera menemui Malik di kosan mereka. Ia akan membeberkan hasil pemikirannya di pesawat tadi. Dengan wajah penuh keyakinan, Imron menatap karib kosnya.
“Aku baru saja dapat pencerahan, Lik!”
Malik yang tak begitu tertarik mengangkat alis. “Apa itu?”
“Aku baru tahu rahasia jadi Haedar Nashir seutuhnya!”
“Emang gimana?”
“Jadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dulu. Itu dia rahasianya!”
#KontrakanImron