Imron Rivaldi menghela napas panjang, jarinya terhenti di atas layar ponsel. Sudah dua hari ini ia terjebak dalam debat kusir di Twitter atau X dengan beberapa akun yang keras kepala. Ia tak habis pikir, kenapa netizen bisa begitu ngotot meski sudah diberi penjelasan logis, lengkap dengan data dan fakta.
Alih-alih berdebat dengan argumen, para netizen yang berjubah anonim ini malah sering meluncurkan serangan-serangan ad hominem: “Dasar bocil kemarin sore, sok tahu!” atau “Iya deh si paling paham kemanusiaan!”
Imron hanya bisa geleng-geleng kepala, bingung harus tertawa atau menangis melihat tingkah mereka yang menggemaskan. “Apa sih yang salah dengan orang-orang ini?” gumamnya dalam hati.
Semua drama debat kusir ini bermula dari sebuah tautan berita yang ia retweet tanpa pikir panjang. Judulnya sederhana tapi entah kenapa bagi sebagian orang merasa terpancing emosinya: “Muhammadiyah Gelontorkan Dana Puluhan Miliar untuk Palestina”.
Berita itu menyebutkan bahwa Muhammadiyah tak hanya mengirimkan bantuan finansial, tapi juga logistik kemanusiaan seperti obat-obatan, makanan, hingga keperluan sehari-hari. Tak ketinggalan, Muhammadiyah juga memberikan beasiswa pendidikan untuk rakyat Palestina yang terdampak konflik berkepanjangan.
Bagi Imron, ini bukan hal baru. Sejak masa kolonial awal abad ke-20, Muhammadiyah sejak dulu memang dikenal sebagai “pemain besar” di dunia filantropi. Tapi siapa sangka, retweet polosnya itu seperti menyalakan sumbu dinamit di media sosial.
Viralnya berita itu seperti membuka kotak Pandora. Respons netizen seperti kilatan cahaya, bertebaran di mana-mana, dari kolom komentar Facebook, unggahan Instagram, hingga cuitan-cuitan pedas di Twitter dan video pendek di TikTok. Bahkan, topik ini sempat nangkring di jajaran trending topic selama beberapa jam.
Memang ada yang salut dengan kiprah Muhammadiyah ini. Tapi tak sedikit pula yang mencibir. Kekecewaan netizen bermunculan dengan argumen beragam: “Di Indonesia masih banyak yang susah, kok malah bantu luar negeri?” atau “Ngapain sih bantu Palestina, toh yang nerima Hamas, pasti duitnya buat beli roket, bukan buat rakyat!”
Imron cuma bisa mengernyit membaca komentar-komentar pedas itu, dan ia menganggap mereka adalah contoh paling aktual manusia yang kurang piknik.
Dengan sabar, atau mungkin karena sudah terlanjur kesal, Imron mulai mengetik balasan. Jarinya lincah menari di atas layar. Ia menjelaskan bahwa bantuan Muhammadiyah dikelola oleh Lazismu, lembaga resmi dengan rekam jejak transparan. Ia juga menambahkan bahwa Muhammadiyah tak pernah lupa pada Tanah Air sendiri. Sekolah, rumah sakit, dan bantuan sosial di dalam negeri tetap jalan, bahkan sambil membantu Palestina.
Tapi apa daya, komentar justru makin bertubi-tubi. Ada yang sampai mencoba doxing, mengorek identitas pribadinya. Kewalahan. Imron akhirnya menutup aplikasi media sosialnya. “Batu kali ini orang-orang,” teriak Imron.
Teriakan itu membangunkan kesadaran Malik Senja Ramadan, teman kosnya, dari lamunan panjang.
“Netizen emang gitu kali, Mron!”
“Gitu gimana, Lik?”
“Berisik, mengganggu, dan liar.”
“Padahal ini berita baik, berita kemanusiaan, lho, Lik.”
“Selamat datang dunia pasca-Orwellian!”
“Pasca-Orwellian?” Imron menyernyitkan dahi.
Nama Orwell memang tak asing baginya. Ia teringat Animal Farm dan Nineteen Eghty-Four (1984), dua novel favoritnya. Imron pertama kali ketemu buku-buku itu saat semester tiga kuliah, waktu dia lagi jadi mahasiswa kidal progesif yang sok intelek.
Inti dalam dua novel garapan Orwell itu tentang manipulasi informasi, pengawasan tanpa henti, dan “kebenaran” yang terus-menerus dibentuk ulang oleh mereka yang berkuasa. Tapi apa hubungannya dengan dunia “Pasca-Orwellian”, ia masih tak tahu.
Penasaran, Imron membuka Google dan mengetik “Pasca-Orwellian”. Tak lama, ia menemukan artikel berjudul “Hanya Mengingatkan” karya Eka Kurniawan di Jawa Pos.
Penjelasan Eka ini sederhana tapi mengena. Dalam dunia Orwellian, katanya, kita diawasi ‘Big Brother’. Segala tindakan, kata-kata, bahkan pikiran dipantau. Sebagaimana ungkapan terkenalnya: ‘Big Brother is watching you’. Tapi di dunia pasca-Orwellian, tak ada satu Big Brother. Justru, semua orang, semua netizen, jadi Big Brother bagi satu sama lain. Mereka saling mengawasi dan “mengingatkan” dengan caranya masing-masing.
Media sosial, tulis Eka, memberi semua orang “kekuasaan” untuk berkomentar. Akhirnya mereka jadi ahli dadakan, atau mengklaim sebagai pembela kebenaran. Hak bersuara memang tak salah, tapi di dunia pasca-Orwellian, ini sering mengaburkan otoritas, mencabut empati, dan melahirkan nyinyiran.
Imron tersenyum kecut. Persis seperti yang ia alami! Di dunia ini, netizen jadi raja kecil dengan kekuasaan liar di ujung jari. Tak peduli Muhammadiyah berbuat baik untuk Palestina dengan transparansi jelas, tetap saja ada yang nyinyir. Kekuasaan itu, sebagaimana Eka bilang, tak lagi terpusat, ia memencar, berisik, mengganggu, dan kadang tak terkendali.
Tapi Imron tidak gentar. Ia justru makin yakin membela Palestina. Baginya, ada alasan kuat untuk mengkritik Israel: sebagai penjajah yang melanjutkan proyek kolonialisme Eropa abad ke-20 dan negara dengan kekuatan besar yang didukung penuh Amerika Serikat.
Imron juga teringat pernyataan Prof Haedar Nashir bahwa mendukung kemerdekaan Palestina selaras dengan amanat konstitusi Indonesia: menghapus segala bentuk penjajahan. Bagi Muhammadiyah, ini bukan sekadar amal diniyah, tapi sikap konsisten dengan nilai karamah insaniyah.
Sebagai mahasiswa yang mengandalkan hidup dari beasiswa, ia bertekad membela Palestina dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Imron akan terus berisik di media sosial, menggemakan suaranya agar orang-orang lebih peka terhadap penderitaan di sana, tak lagi tutup mata pada reruntuhan dan tangis anak-anak Gaza. Lebih dari itu, ia akan getol menyerukan boikot terhadap produk-produk dan perusahaan yang mendukung genosida, berharap setiap langkah kecil ini jadi pukulan telak bagi ketidakadilan.
“Biar kata dikira berisik, yang penting pesan ini sampai, dan dunia tahu kita tak diam,” tekad Imron dalam hati.
Di semesta Twitter serta di beberapa sosial media lainnya, Imron bertekad jadi garda terdepan dalam melakukan konter narasi terhadap para Zionis Jaksel sok asik. Ia akan menghujani mereka dengan bom-bom komentar. Tentu saja cara-cara seperti ini tidak bisa dihalau oleh Iron Dome.
Di dunia nyata, Imron akan menggelar diskusi dan bedah buku. Baginya, perjuangan melawan dominasi Israel harus ditopang oleh kekuatan pengetahuan. Ia percaya bahwa dengan memahami akar permasalahan, sejarah, dan dinamika konflik yang terjadi, pembelaan terhadap Palestina akan jauh lebih bertenaga.
Selain memproduksi pengetahuan, Imron juga mungkin akan lebih sering turun ke jalan, ikut aksi bela Palestina dengan semangat baru, memanjatkan doa-doa agar keadilan segera tiba. Ia ingin sekali merasakan sensasi “jalanan” dalam mendukung Palestina.
Entah kenapa tetiba pikiran Imron melompat ke sesuatu yang lain.
“Wahabi kalau demo bela Palestina kayak gimana, ya?” Entah dari mana pertanyaan itu muncul, tapi Imron merasa harus tahu.
Iseng, Imron membuka YouTube dan mengetik dua kata lucu: Wahabi Demo.
Hasil pencarian muncul, dan ternyata ada videonya. Dengan penasaran, Imron menekan tombol play. Seorang penceramah bersorban muncul. Dengan nada yang cukup familiar di telinga pembaca sekalian, sang penceramah bilang, “Demonstrasi ini haram, demi Allah!”
Haiishhhhh, mending tidur.
#KontrakanImron