MUHAMMADIYAH. OR. ID. BANTUL-
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Hamim Ilyas menegaskan surat Al-‘Ashr dapat digunakan untuk melakukan transofrmasi budaya bagi umat islam.
“Al-‘Ashr berbicara tentang kebudayaan bisa dipahami dari pernyataan Imam Syafii. Imam Syafii menyatakan seandainya Al-Qur’an itu tidak turun kecuali surat Al-‘Ashr ini. Surat Al-‘Ashr ini sudah mencukupi umat manusia,” kata Hamim.
Hal itu disampaikannya dalam Pengajian Ramadan 1446 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah bertema “Tafsir Al-Qur’an tentang Wasathiyah” di Ballroom Student Dormitory Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Senin (3/3).
Hamim meneruskan, kalau dulu tafsir Al-‘Ashr belum menggunakan perspektif kebudayaan maka kemudian tafsirnya adalah iman, amal soleh tawassaw bil haq, tawassaw bil sabr belum menggunakan kerangka kebudayaan. Sehingga kita dapat menggunakan surat Al-‘Ashr sebagai landasan untuk melakukan transformasi budaya.
“Kebudayaan yang saya maksudkan di sini adalah ekspresi hidup yang dijalani dengan belajar. Yang dalam Islam yang ekspresi hidup yang dijalani tidak dengan belajar itu adalah Al-Qur’an karena wahyu dari Allah, diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah. Al-Qur’an itu bukan kebudayaan karena wahyu,” jelas Hamim.
Selain itu, Hadis Qudsi juga bukan kebudayaan karena Hadis Qudsi disabdakan oleh Nabi itu juga dari Allah SWT. Adapun hadis lainnya yang bukan merupakan kebudayaan adalah hadis yang termasuk sunanul huda. Sunanul huda adalah sunah yang mengikat umat islam karena menjadi bagian dari risalah Nabi Muhammad SAW, yaitu hadis-hadis tentang ibadah dan nilai-nilai etika universal.
“Al-‘Ashr disitu untuk terbebas dari husrin (kerugian), manusia harus beriman, beramal soleh, saling mengingatkan tentang kebenaran, dan saling mengingatkan tentang kesabaran,” imbuhnya.
Dalam bahasa arab, husrin merupakan lawan dari falah. Falah artinya memperoleh segala yang menjadi puncak keadaan baik di semua bidang kehidupan. Sehingga, husrin memiliki arti sebaliknya, yaitu tidak berada di puncak keadaan baik bidang-bidang kehidupan yang kita jalani.
“Kalau keadaan baik ekonomi itu kemakmuran, maka falah itu adalah berada di puncak kemakmuran ekonomi. Kalau keadaan baik hukum itu adalah keadilan, maka falah itu adalah puncak keadaan baik keadilan. Kalau puncak keadaan baik budaya itu adalah transformatif, budaya yang memperbaiki kehidupan terus-menerus dari waktu ke waktu, maka berarti umat kalau sudah berada di falah itu berarti berada di puncak kebudayaan yang transformatif,” ujarnya.
Untuk bisa berada di falah, puncak keadaan baik semua bidang kehidupan tadi, maka surat Al-‘Ashr menegaskan harus melalui jalan iman. Sehingga kalau memahami iman berdasarkan perspektif kebudayaan maka iman menjadi sistem religi.(Adit)