Perjalanan mudik selalu penuh cerita. Kali ini, Imron Rivaldi, Malik Senja Ramadan, dan Nuriel Al-Kautsar berangkat dari Yogyakarta menuju Garut untuk memeriahkan malam takbiran dan lebaran. Momen ini juga terasa istimewa karena mereka bertiga jarang mudik bersama menaiki bus.
Di dalam bus, suasana tampak tenang. Nuriel sibuk memandangi gelap malam dari balik jendela. Cahaya lampu yang memantul di kaca tampak berkilauan, menciptakan suasana melankolis. Namun, itu tak berlangsung lama. Setelah beberapa menit, ia menyerah pada rasa dingin AC yang menusuk dan memilih tidur.
Sementara itu, Malik berada di dimensi yang berbeda. Ia lebih sibuk dengan layar ponselnya. Dengan khusyuk, ia menyaksikan ulang pertarungan epik Itachi dan Sasuke, serta Luffy melawan Kaidou. Sesekali nonton konten mukbang dari street food India. Setelah selesai, ia pun menyusul Nuriel, tertidur dengan posisi yang tak kalah santai.
Melihat kedua karibnya yang tertidur pulas, Imron merasa gelisah. Dalam hatinya, ia bergumam, “Beginikah kelakuan agent of change? Mengaku mahasiswa tapi tidur nyenyak sementara bangsa ini sedang nggak baik-baik saja?” Ia memandang mereka secara sinis.
Di tengah bentangan jagat raya tanpa tepi dan arus zaman yang begitu panjang, Imron bertanya-tanya kenapa harus bertemu di ruang dan waktu yang sama dengan dua temannya yang tidak pernah memikirkan nasib peradaban itu.
Obsesinya jadi intelektual sejati memang tak main-main. Baginya, seorang cendekiawan harus produktif, kapan pun, di mana pun, termasuk di dalam bus yang bergoyang. Dengan penuh semangat, ia mengeluarkan laptop dari tasnya.
Layar menyala, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard. Ia menulis, menghapus, menulis lagi, hingga akhirnya tercipta satu paragraf. Bukan karya agung memang, tapi cukup membuatnya merasa telah menyumbang sesuatu bagi bangsa dan negara. Sekilas, ia tampak seperti pahlawan literasi di tengah perjalanan malam.
Namun, momen heroik itu tak bertahan lama. Beberapa menit kemudian, kepala Imron mulai pening. Ususnya seperti menggelar pesta dansa liar, nasi Padang, tempe bacem, sayur lodeh, dan jeruk nipis yang ia santap sebelum berangkat seolah berontak minta keluar.
Imron menahan, buru-buru menutup laptop, dan memejamkan mata. Dalam hati, ia mengakui kekalahan: tidur adalah pilihan paling manusiawi bagi seseorang yang lupa melakukan ritual minum antimo sebelum naik bus. Mimpinya jadi intelektual produktif pun tertunda, setidaknya sampai bus berhenti.
Setelah terlelap beberapa jam, Imron terbangun dengan perasaan tak nyaman. Bus tak lagi bergerak. Ia melirik ke luar jendela dan menyadari mereka terjebak dalam macet total di daerah Tasikmalaya. Padahal, dari Tasik ke Limbangan, lalu Garut, sudah tinggal sepelemparan batu.
Klakson bertalu-talu dan suara mesin motor yang meraung tak sabar jadi latar musik yang tak diundang. Lebih buruk lagi, AC bus yang tetap menyala dingin mengeluarkan aroma khas bus, campuran bau karpet tua, jok usang, dan sedikit aroma misterius yang sulit didefinisikan. Bagi sebagian orang, termasuk Imron, aroma itu bukan teman perjalanan yang menyenangkan.
Imron termenung. Dulu, momen macet mudik seperti ini hanya jadi tontonan di layar TV. Wartawan melaporkan antrean panjang mobil yang mengular, sementara pemudik diwawancarai dengan senyum pasrah. Peristiwa itu tampak jauh, nyaris seperti tradisi yang mesti ada agar suasana lebaran terasa lengkap.
Kini, Imron sendiri yang mengalaminya. Dan ternyata, ini tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Tidak ada nuansa haru seperti di liputan berita. Tidak ada rasa syahdu yang sering ia bayangkan. Yang ada hanya badan pegal, udara pengap, dan kantuk yang tak bisa tuntas.
Kenapa sih hal-hal kecil kayak gini harus bohong, gumam Imron dalam hati.
Demi mengalihkan kejenuhan, Imron merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel. Ia membuka Instagram. Jempolnya menggulir layar ke bawah, melihat unggahan teman-temannya yang sedang berlibur di berbagai tempat.
Ada yang berfoto di bandara, bersiap terbang ke kota asal. Ada yang mengunggah swafoto di dalam mobil dengan caption santai, “Mudik santai, jalanan lancar!” Ada juga yang memamerkan suasana di rumah, menunjukkan meja makan yang sudah mulai dipenuhi kue kering dan toples nastar.
Imron lalu menggeser pandangan ke luar jendela. Deretan mobil dan bus berbaris panjang, berhenti tanpa kepastian. Lampu merah kendaraan berpendar di tengah pekatnya malam, menciptakan ilusi garis merah yang seakan tak berujung.
Tanpa pikir panjang, Imron membuka fitur kamera dan mengarahkan lensanya ke luar jendela. Ia mengambil beberapa gambar, satu dengan fokus pada ekor kemacetan yang seolah tak ada ujungnya, satu lagi dengan refleksi wajahnya sendiri di kaca jendela, menampilkan ekspresi lelah.
Setelah puas memilih foto terbaik, Imron membuka Instagram Story. Ia mengetik sebuah caption yang menggambarkan perasaannya saat ini: “Mas-mas yang mudik sambil terjebak macet itu sekarang aku.”
Saat Imron masih menatap layar ponselnya, Malik tiba-tiba terbangun di sebelahnya. Matanya berkedip-kedip, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya redup di dalam bus. Ia menguap lebar, lalu melirik Imron yang tampak sibuk dengan ponselnya. “Udah sampai mana kita?”
“Masih di Tasik. Macet parah, Lik.” jawab Imron singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
“Macet ya.”
“Iya, udah salat isya belum?”
“Maghrib aja belum.”
“Yaudah jamak qashar aja sekarang.”
“Nanti aja di rumah, nanggung bentar lagi, Mron.”
“Mending di sini aja, Lik.”
“Kurang afdhal, Mron.”
“Pikiranmu tuh kurang wawasan.”
Imron kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, seorang musafir diperbolehkan untuk menjamak dan mengqashar salatnya demi kemudahan. Dalam keadaan perjalanan jauh, musafir boleh menjamak (menggabungkan) dua salat sekaligus, seperti Zuhur dengan Asar atau Magrib dengan Isya. Selain itu, mereka juga bisa mengqashar (meringkas) salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat.
Fatwa ini berdasarkan dalil dalam Al-Qur’an dalam QS. An-Nisa ayat 101 serta Rasulullah SAW juga sering menjamak dan mengqashar salat ketika dalam perjalanan. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Umar berkata:
“Aku pernah menyertai Rasulullah SAW dalam safar, dan beliau tidak pernah salat lebih dari dua rakaat, demikian pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.”
Dengan penjelasan itu, Malik akhirnya mengangguk. “Oke deh, Mron, aku salat dulu.”
Di tengah kemacetan yang belum ada tanda-tanda berakhir, Malik pun menunaikan salat di dalam bus. Setidaknya, dalam perjalanan panjang yang melelahkan ini, ia masih bisa menjalankan kewajiban dengan cara yang lebih ringan dan tetap sah.
Setelah salat jamak qashar, Malik merogoh ponselnya dari saku celana. Ia membuka Instagram, lalu mengarahkan kamera ke luar jendela. Sorot lampu kendaraan yang mengular panjang di tengah gelapnya malam menciptakan kesan dramatis yang tak bisa ia lewatkan.
Beberapa kali Malik mencoba mengambil angle terbaik, hingga akhirnya menemukan satu yang pas. Tanpa pikir panjang, ia mengetik caption dan mengunggahnya ke story: “Mas-mas yang salat jamak qashar karena macet itu sekarang aku.”
#KontrakanImron