MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Momen bulan suci Ramadan merupakan suatu momen spesial bagi umat muslim di seluruh penjuru dunia.
Di bulan yang penuh dengan keberkahan ini, terdapat peristiwa penting dalam sejarah Islam. Salah satunya adalah momen turunnya wahyu pertama Nabi Muhammad SAW atau umat muslim biasa menyebutnya dengan peringatan Nuzulul Quran.
Pada agenda Pengkajian Ramadan 1446 H yang diadakan oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DKI Jakarta, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Kiai Saad Ibrahim berkesempatan mengulas peristiwa mulia tersebut.
Saad mengatakan bahwa ketika menerima wahyu pertamanya tepatnya di Gua Hira, Nabi berucap bahwa dirinya tidak bisa membaca hingga ucapan tersebut terulang tiga kali ketika Malaikat Jibril memerintahkannya untuk membaca.
“Ketika menerima wahyu pertamanya (Qs Al-Alaq [96] ayat 1-5) di Gua Hira, Nabi berucap sebanyak 3 kali “Aku tidak bisa membaca”. Hal itu diucapkan oleh nabi karena dirinya diperintahkan oleh Malaikat Jibril untuk membaca,” jelas Saad.
Lebih lanjut dalam pengajian Ramadan tersebut Saad menerangkan tentang bagaimana Malaikat Jibril kemudian merangkul Nabi dengan begitu kuatnya ketika mendengarkan ucapan dari Nabi Muhammad tersebut. Saat dirangkul oleh Malaikat Jibril, Nabi merasakan rangkulan yang begitu kuat hingga tidak bisa bernafas.
“Setelah dilepaskan rangkulan tersebut, Nabi langsung merasa, mengikuti dan merespon apa yang disampaikan oleh Malaikat Jibril. Respon nabi berbalik 180 derajat yang awalnya ia mengucap “Saya tidak bisa membaca”, hal tersebut berbalik menjadi lancar,” ujar Saad pada acara Pengkajian Ramadan yang diadakan di Auditorium Djuanda Gedung Dakwah Muhammadiyah DKI Jakarta, Kramat Raya, Jakarta Pusat pada Ahad (16/3).
Wahyu Untuk Mengajarkan Agama
Kemudian melanjutkan ceramahnya, Saad juga mengisahkan tentang kisah Nabi bersama para sahabatnya yang didatangi oleh seseorang yang tidak dikenali dan bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan, dan hari kiamat.
“Orang itu duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan menanyakan tentang Islam, Iman, Ihsan, dan hari Kiamat. Lalu setelah itu orang itu pergi. Nabi menjelaskan kepada sahabat bahwa orang yang duduk disampingnya lalu pergi tersebut adalah Malaikat Jibril dengan maksud memberitahu Nabi untuk mengajarkan tentang agama,” ucap Saad.
Wahyu yang diterima oleh Nabi tersebut tentu memberikan pelajaran penting tentang keimanan dan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Kedekatan Nabi dengan Malaikat Jibril tentu bukan hanya sekadar jarak fisik, tapi merupakan bentuk intensitas dan kedalaman dalam penyampaian wahyu yang penuh dengan makna.
“Selain terdapat pada hadis, proses tentang turunnya wahyu tersebut tercantum secara gamblang dalam Qs An-Najm [53] ayat 1-10. Malaikat Jibril ada di ufuk yang tinggi. Dia kemudian mendekat (kepada Nabi Muhammad), lalu bertambah dekat sehingga jaraknya sekitar dua busur panah atau lebih dekat lagi, Lalu, dia (Jibril) menyampaikan wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang dia wahyukan,” imbuh Saad seraya menjelaskan isi dari Surah An Najm [53] ayat 1-10. (bhisma)