Dengan gaya tengkurap, Imron Rivaldi menelusuri jagat TikTok saat sebuah video menghentikan jarinya. Video itu menampilkan seorang mahasiswi yang punya bakat membuat lemper, tetapi ditolak bergabung dengan ibu-ibu hajatan.
Padahal di pesta hajatan itu semua orang saling berkontribusi. Tapi entah kenapa membuat lemper bagi seorang mahasiswi difatwa tidak pantas, atau paling tidak, dianggap bukan ranahnya. Emang kamu bisa bikin lemper? begitu kira-kira komentar si ibu-ibu.
Imron termenung. Ia paham betul perasaan mahasiswi itu. Sejak kuliah, ia juga merasa teralienasi dari komunitasnya sendiri, menjadi asing di masyarakat. “Kenapa kuliah malah menjauhkan kita dari kehidupan yang dulu kita anggap biasa aja?” pikir Imron.
Imron merasa bukan dirinya atau mahasiswa yang menjauh, tetapi masyarakat yang menciptakan imaji kasta sosial. Seorang mahasiswa dianggap tidak patut mengerjakan hal-hal kasar dan remeh-temeh macam membungkus lemper. Seakan status akademik adalah sekat yang memisahkan seseorang dari tugas-tugas yang dianggap sederhana.
Imron mulai menyadari bahwa ada yang tidak beres. Ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi sebuah konstruksi sosial yang menempatkan mahasiswa di sebuah menara gading imajiner. Dari asumsi ini ia memutuskan untuk melakukan riset antropologi kecil-kecilan di kosannya.
Di kamar kos, Imron mendatangi Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar, dua rekan yang sama-sama merantau demi pendidikan.
Malik yang saat itu mengenakan jubah akatsuki sedang sibuk dengan layar ponselnya. Dengan khusyuk, ia menyaksikan ulang pertarungan epik antara Itachi dan Sasuke, serta Luffy melawan Kaidou. Sesekali nonton konten mukbang dari street food India.
Sementara itu, Nuriel duduk di sudut kamar, dengan telaten merapikan seragam Kokam kebanggaannya. Ia melipat setiap sudutnya dengan hati-hati, memastikan emblem di dada tetap bersih dan rapi.
Imron menghela napas, lalu duduk di kursi kayu yang mulai berdecit jika diduduki dengan gerakan terlalu tiba-tiba. Ia menatap dua temannya bergantian, sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya.
“Apa kalian merasa, sejak kuliah, kita jadi asing di kampung sendiri?” tanya Imron, serius.
“Tentu saja, Mron. Pulang kampung, kita dibilang kebanyakan teori. Begitu mau ngelakuin hal-hal praktis, malah disuruh mikirin ide sama gagasan. Serba salah,” jawab Nuriel.
Nuriel mengingat kembali kejadian di kampungnya saat Agustusan. Awalnya, ia membayangkan bisa ikut serta dalam persiapan festival desa dengan cara yang seru. Mencari bambu bagus di pedalaman kebun, ikut serta bersama-sama mengangkat kayu untuk gapura, gotong royong memasang bendera di sepanjang jalan, atau sekadar membantu membagikan konsumsi.
Namun, harapannya pupus begitu para panitia melihatnya bukan sebagai seorang pemuda biasa, melainkan sebagai si mahasiswa yang seharusnya berkutat dengan hal-hal besar. Bukannya diberi kapak untuk memotong kayu, Nuriel justru didorong ke meja panitia. Orang-orang sibuk menunjuknya sebagai konseptor acara, orang yang bertanggung jawab menyusun proposal, dan mengurus perizinan ke kelurahan.
Awalnya, Nuriel mengira itu hanya kebetulan, tetapi lama-lama ia sadar ada pola yang selalu terulang, “Mahasiswa selalu disiapkan untuk berpikir, bukan bekerja secara langsung.”
Malik sebenarnya memiliki pengalaman serupa, meski dalam bentuk yang berbeda. Jika Nuriel merasa terasing karena ingin tetap terlibat dalam pekerjaan fisik, Malik justru berada di spektrum yang berbeda. Ia memang tidak terlalu tertarik dengan pekerjaan kasar. Ia terlalu lunak untuk mengerjakan hal-hal keras seperti itu. Namun, itu juga bukan berarti ia unggul dalam tugas-tugas yang mengandalkan pemikiran.
Sebagai mahasiswa teknik industri, Malik beberapa kali mengalami momen yang membuatnya berpikir ulang tentang persepsi orang-orang terhadap mahasiswa. Di kampungnya, setiap kali ada yang kehilangan akses ke akun Facebook atau Instagram, mereka langsung datang kepadanya dengan permintaan yang terdengar mustahil.
“Malik, bisa hack akun Facebook ini nggak? Soalnya kena retas.” Atau, “Bantuin dong, akun WhatsApp-ku tiba-tiba nggak bisa dibuka.” Seakan-akan, hanya karena ia belajar sedikit tentang komputer, maka otomatis ia menjadi Avatar Aang yang harus menguasai segala elemen, dari software sampai hardware, dari pemrograman sampai peretasan.
Namun, kejadian paling aneh adalah ketika Malik tiba-tiba diminta untuk berceramah di masjid. “Nanti malam, kamu isi pengajian, ya.” Permintaan itu datang begitu saja, tanpa ada diskusi atau pertimbangan. Seolah-olah menjadi mahasiswa otomatis jadi cendekiawan muslim yang paham seluruh bidang keilmuan Islam. Padahal, ia kuliah di teknik industri, bukan di fakultas syariah.
“Kayaknya masyarakat kita punya keyakinan bahwa mahasiswa itu makhluk semi-dewa. Mereka nggak boleh capek-capek kerja kasar, tapi di sisi lain juga harus bisa segala hal,” respon Imron.
Masalahnya, kata Imron, pola ini terus berulang. Masyarakat menciptakan sekat imajiner antara mahasiswa dan komunitasnya. “Padahal, bukankah seharusnya pendidikan mendekatkan seseorang pada realitas, bukan justru menjauhkannya?”
Mungkin, solusinya sederhana. Imron mengatakan bahwa mahasiswa harus kembali membaur, harus nunjukin bahwa mereka tetap bagian dari komunitas masyarakat. Jika dilarang ikut membungkus lemper, tetaplah hadir dan menawarkan bantuan lain. Jika dianggap hanya bisa berpikir, tunjukkan bahwa mereka juga bisa bekerja. Jika dituntut untuk bisa segala hal, manfaatkan sebagai kesempatan belajar.
Nuriel dan Malik saling berpandangan, mencerna gagasan liar dari Imron. Awalnya, mereka ragu, tetapi semakin dipikirkan, semakin masuk akal. Mengapa harus terus merasa terasing jika mereka bisa menjembatani kesenjangan itu sendiri? Pikir Malik.
Dengan semangat baru, mereka bertiga bangkit dari duduknya. Nuriel mengepalkan tangan, penuh tekad. Malik mengangguk mantap, membayangkan dirinya ikut memasang bendera di kampung saat Agustusan. Imron tersenyum puas melihat kedua teman kosnya mulai percaya bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang mustahil.
Nuriel mengangguk, lalu dengan semangat menimpali, “Makanya, besok kalau kita pulang kampung, kita harus berbaur, bantu-bantu masyarakat!”
“Sepakat sih, Mron,” ujar Malik, “Nanti aku juga bakal lebih aktif di kegiatan desa, biar nggak dianggap cuma bisa main hape.”
Imron tersenyum. “Betul, Lik! Kita harus membuktikan kalau mahasiswa bukan orang asing di kampungnya sendiri.”
Namun, baru saja mereka merasa termotivasi untuk membaur dengan masyarakat, terdengar suara gedoran keras dari pintu.
“Kerja bakti! Kerja bakti! Ayo keluar! Keluar!” seru suara berat dari luar.
Imron melongok ke jendela dan langsung panik. Begitu melihat sosok gagah berkumis tebal dengan sarung diselempangkan di bahu, jantungnya nyaris lompat keluar. “Pak RT, Guys!” bisiknya tegang.
Malik langsung menjatuhkan diri ke kasur, Nuriel menarik selimut hingga menutupi wajah, dan Imron menjatuhkan diri ke lantai dengan posisi tengkurap. Tanpa berpikir panjang, ketiganya langsung pura-pura tidur.
#KontrakanImron