Suatu malam di tongkrongan, aroma kopi tubruk menguar lembut dari cangkir Imron Rivaldi. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca esai tentang perlunya Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) untuk persatuan umat Islam.
Bagi Imron, KHGT bukan sekadar tanggal di kalender, melainkan revolusi kecil yang bisa menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Cahaya layar hape memantul di matanya yang penuh keyakinan, seolah membayangkan masa depan umat yang harmonis.
“Bayangin, Gung,” kata Imron sambil melirik Agung Satria Baja Hitam, teman tongkrongannya di kampung yang sedang selonjoran di sofa tua dengan ekspresi santai, “tak ada lagi drama beda hari raya, tak ada lagi debat kapan puasa dimulai. KHGT ini jembatan emas buat nyatuin umat dari Sabang sampai Merauke, dari Maroko sampai Mindanao!”
Agung mendongak dengan ekspresi skeptis. “Tunggu dulu, Mron,” sahutnya, suaranya kalem tapi tajam, “KHGT ini kok rasanya aneh. Bukannya malah bertentangan sama Hadis Kuraib yang diriwayatkan Imam Muslim?”
Imron mengernyit, alisnya berkerut dalam. Dia tahu betul gelagat Agung yang sudah membuka kartu sunnah, debat malam ini bakal panjang.
Dengan nada setengah menguji, Agung mulai bercerita. “Denger ya, ada kisah dari Umm al-Fadl yang ngutus Kuraib ke Syam buat ketemu Mu’awiyah. Waktu Kuraib balik ke Madinah, dia lapor ke Ibnu Abbas kalo hilal udah keliatan di Syam dan mereka udah puasa. Tapi apa kata Ibnu Abbas? Dia nolak rukyat Syam dan tetep pake rukyat Madinah. Jelas kan?”
“Okay, terus, Gung?”
“Tiap tempat punya matlak sendiri, Mron. KHGT ini kok kayak memaksakan sesuatu yang nggak sesuai sunnah.”
“Gung, pendapat itu emang bikin masuk akal di zaman dulu. Bayangin, sebelum ada telepon, internet, atau bahkan burung merpati yang cepet, mustahil kan kabar hilal dari Barat sampe ke Timur sebelum fajar? Jadi wajar kalo tiap daerah punya matlak sendiri.”
“Kok bisa wajar, Mron?”
“Iyalah, coba tengok sekarang, teknologi udah canggih, Gung. Kita bisa tahu hilal keliatan di mana pun dalam hitungan detik lewat satelit, aplikasi, atau bahkan live streaming. Justru kalo kita tetep bertahan sama matlak lokal, itu malah bikin umat pecah. Puasa beda, Lebaran beda, terus apa gunanya jadi satu umat? Ummatan wahidatan, Gung!”
“Aneh banget, Mron.”
“Mukamu aneh, Gung?”
“Woo nyerang fisik.”
“Okay maaf. Aneh gimana?”
“Kok bisa syariat Islam berubah hanya karena teknologi makin berkembang? Apakah nanti salat juga bisa berjamaah melalui Zoom meeting? Gausah haji ke Tanah Haram, cukup nonton YouTube aja. Gitu, Mron?”
“Bukan gitu, Gung. Rukyat ini bukan aspek ibadah. Jadi bisa aja diganti.”
“Diganti karena udah nggak relevan gitu?”
“Iyalah.”
“Kok liberal sekali pemikiranmu, Mron!”
“Kenapa jadi liberal, Guungggg?!” Imron mulai kesal.
“Faktanya Nabi emang pakai rukyat kan? Sejak awal emang beliau nggak ada pikiran buat bikin kalender!”
“Dengerin, Gung. Rasulullah pake rukyat karena itu metode paling gampang dan realistis buat umat waktu itu. Dalam hadis Bukhari-Muslim, Nabi bilang, ‘Kami umat ummi, tak bisa menulis, tak bisa hisab.’ Tapi sekarang, kita bukan umat ummi lagi, Gung. Ilmu hisab udah maju, teknologi udah mendukung.”
“Tapi, Mron, rukyat itu kan sunnah Rasulullah. Konteksnya beda, tapi esensinya tetep: kita ikut apa yang Nabi ajarkan. Kalo kita ganti hisab global, apa nggak kehilangan ruhnya?”
“Begini, Gung. Dulu rukyat dipilih karena sederhana dan bisa diakses semua orang di Jazirah Arab. Tapi sekarang, umat udah nyebar ke mana-mana, dari kutub sampe khatulistiwa. Kalo kita kekeh pake rukyat lokal, yang ada malah ribut tiap tahun. KHGT pake hisab cuma alat buat nyatuin kita, supaya puasa bareng, Lebaran bareng. Bukankah itu lebih dekat ke ruh ummatan wahidatan?”
“Kalu udah jadi umat yang satu, apa untungnya?”
“Untungnya itu kita bisa ngelaksanain puasa Arafah bareng orang-orang haji yang sedang wukuf.”
“Baik, Mron. Sekarang aku tanya. Puasa Arafah itu merujuk pada ‘tempat’ atau ‘waktu’? Maksudku, apakah puasa Arafah harus selalu bertepatan dengan wukuf di Arafah, atau hanya berdasarkan tanggal 9 Zulhijah dalam kalender Islam masing-masing daerah?”
“Kalau kita lihat hadis-hadis Nabi, puasa Arafah itu dilaksanakan bersamaan dengan wukuf. Artinya, tanggal 9 Zulhijah harus berlaku secara global di seluruh dunia, bukan berdasarkan kalender lokal yang berbeda-beda.”
“Jadi maksudmu, kita harus ikut jadwal Saudi?”
“Bukan ikut Saudi, Gung. Sejak awal kamu tuh nggak ngerti.”
“Makanya kasih tau!”
“Okay jadi gini, ini soal unifikasi kalender Islam. Kalau sekarang kalender Islam masih terpecah-pecah karena metode rukyat yang bersifat lokal, ya pasti puasa Arafah juga akan jatuh di hari yang berbeda-beda. Ini absurd.”
“Jadi bukan ikut Saudi?”
“Bukan, karena Saudi masih pakai rukyat!”
“Lalu, ikut siapa? Pep Guardiola? Ikut Pildacil?”
“Ikut demo!”
“Serius, Mron!”
“Gini, kita perlu KHGT yang bisa menetapkan tanggal yang sama untuk seluruh dunia. Karena rukyat nggak bisa menghasilkan kalender jangka panjang. Bahkan, Prof Tono Saksono pernah bilang, sesederhana apapun perhitungannya, sebuah kalender haruslah berbasis hisab, bukan rukyat.”
“Okay jadi salah satu fungsi KHGT itu buat nyelesain problem puasa Arafah?”
“Betul, Gung.”
Agung terdiam sejenak, mencoba mencerna argumen Imron.
Perdebatan ini bukan sekadar soal metode, tetapi juga bagaimana agama dan ilmu pengetahuan bisa berjalan beriringan. Di satu sisi, KHGT menjanjikan kepastian dan kesatuan umat, di sisi lain ada kekhawatiran bahwa hal ini akan mengabaikan tradisi rukyat yang telah diwariskan turun-temurun.
Imron menyadari bahwa kebanyakan orang masih sulit menerima gagasan KHGT bukan karena kekurangannya, tetapi karena ketidaksiapan meninggalkan cara lama. Baginya, KHGT bukan sekadar soal perubahan teknis, melainkan sebuah langkah menuju persatuan yang lebih besar.
Di hadapan Agung, Imron harus bisa membuktikan bahwa sistem ini bukan hanya logis, tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
“Mron,” kata Agung, “memaksakan kalender global itu malah bertentangan sama ilmu pengetahuan. Bayangin, ada negara yang dipaksa masuk bulan baru padahal hilal belum wujud, bahkan masih di bawah ufuk. Atau ada negara lain yang harus nunggu besok biar seragam, padahal hilal udah keliatan kemarin. Hukum puasa Ramadan mereka gimana? Harusnya udah Idul Fitri, tapi gara-gara KHGT mereka masih puasa. Absurd, kan?”
“Gung, KHGT itu nggak asal maksa. Ada dua syarat fundamental yang memastikan keabsahannya. Pertama, suatu tempat nggak boleh ditunda masuk bulan baru kalau imkanu rukyat sudah terpenuhi di mana pun di bumi dengan kriteria tinggi: minimal hilal 5 derajat dan elongasi 8 derajat. Kedua, nggak boleh ada negara yang dipaksa masuk bulan baru kalau konjungsi belum terjadi.”
“Jadi intinya, Mron?”
“Intinya, Gung, negara-negara di wilayah barat nggak bakal ditunda cuma buat nunggu yang di wilayah timur, dan yang di wilayah timur nggak bakal dipaksa kalau ijtimak belum ada. Logis, kan?”
“Agak sedikit bingung.”
“Wajar, Gung!”
“Tapi kalau hilal masih di bawah ufuk itu gimana, Mron?” Agung mengerutkan dahi.
Imron tersenyum, lalu meraih gelas tehnya. “Itu pake prinsip ‘transfer imkan rukyat’. Misalnya, hilal udah keliatan di Amerika yang berada di bagian barat bumi, tapi di Selandia Baru yang berada di bagian timur masih di bawah ufuk. Transfer imkan rukyat artinya hasil rukyat dari barat bisa dipakai buat timur, jadi timur nggak dipaksa masuk bulan baru sebelum ijtimak terjadi. Ini udah diterapkan di Indonesia, Gung. Kalau hilal keliatan di Aceh, Papua ikut, meski di sana hilal masih di bawah ufuk. Efektif, kan?”
“Tapi itu tetap aja beda, Mron. Indonesia kan masih satu negara, wajar kalau rukyatnya berlaku nasional. Lah ini skala global! Rukyat di Amerika kok bisa dipakai buat Asia? Sunnah rukyat Nabi jadi tergeser, dong?”
“Bukan tergeser, Gung. Tapi disesuaikan dengan zaman. KHGT nggak cuma soal teknologi, tapi juga soal persatuan umat. Kita bukan lagi hidup di komunitas terpencar di Jazirah Arab. Kita umat global. Satu kalender, satu langkah. Bayangin kalau semua umat Islam di dunia bisa puasa dan Lebaran bareng, tanpa perpecahan. Itu justru lebih dekat ke semangat persatuan Islam, kan?”
“Tapi, Mron, Islam itu nggak sekadar tentang kepraktisan. Ada aspek syariat yang nggak bisa dikompromi.”
“Betul, Gung. Tapi syariat juga fleksibel dalam hal yang bersifat ijtihadiyah. Kalender itu bagian dari ijtihad, bukan sesuatu yang baku. Kalau ada sistem yang lebih presisi, lebih ilmiah, dan tetap sesuai prinsip syariah, kenapa nggak?”
“Eh, Mron, kalo KHGT itu bener-bener sebagus yang kamu bilang, kok sampe sekarang belom jalan?”
“Ya karena kita masih kejebak sama cara lama, Gung. Banyak yang ngerasa KHGT ini ngelawan sunnah, padahal malah bikin kita lebih deket sama tujuan Islam: satu umat. Masalahnya bukan di syariatnya, tapi di orang-orang yang susah nerima.”
“Terus kalo gitu, kenapa nggak semua ulama setuju? Kalo KHGT ini katanya lebih pinter dan lebih pas buat ummatan wahidatan, kok masih pada ribut?”
“Ya gitu, Gung, perubahan mah selalu ditolak di awal. Kayak zaman Islam baru masuk, orang-orang juga nolak karena ngerasa tradisi mereka diganti. Tapi coba pikir jernih, ini bukan ganti ajaran Islam, cuma nyocokin cara sama zaman sekarang aja. Dan cara kita bayar utang.”
“Utang apa, Mron?”
“Utang peradaban, Gung. Selama 14 abad umat Islam nggak punya kalender unikatif.”
“Bener juga.”
#KontrakanImron