MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Qaem Aulassyahied menjelaskan bahwa itikaf secara bahasa berasal dari kata “akafa” yang berarti menahan diri atau berdiam di suatu tempat.
Secara istilah, menurut panduan Majelis Tarjih, iktikaf adalah aktivitas ibadah dengan berdiam diri di masjid dalam waktu tertentu, diisi dengan amalan seperti salat, zikir, membaca Al-Qur’an, dan doa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
“Poin utamanya adalah di masjid. Itu idealnya sesuai ketentuan syariat,” tegas Qaem dalam acara “Tarjih Menjawab” pada Rabu (19/03).
Namun, pertanyaan menarik muncul: bolehkah itikaf dilakukan secara online? Qaem membagi dua sudut pandang. Pertama, iktikaf online di rumah sambil mengikuti agenda masjid melalui ruang virtual. Kedua, iktikaf di masjid tetapi menghabiskan waktu dengan aktivitas online, seperti rapat virtual atau kegiatan lain.
Menurutnya, definisi iktikaf yang ditekankan Muhammadiyah menunjukkan bahwa masjid adalah syarat utama. “Jika di rumah, itu tidak memenuhi syarat sah iktikaf, kecuali dalam kondisi darurat seperti saat pandemi Covid-19, di mana iktikaf di rumah diperbolehkan sebagai pengecualian,” jelasnya.
Sementara itu, iktikaf di masjid sambil online memunculkan pertanyaan lain: apakah aktivitas tersebut sesuai dengan esensi iktikaf? Qaem menegaskan bahwa kegiatan online diperbolehkan selama terkait dengan ibadah, seperti mengikuti kajian Islam virtual, karena itu bagian dari amalan sunah iktikaf.
Namun, jika aktivitasnya bersifat duniawi, seperti bermain game atau sekadar sibuk dengan rapat kantor tanpa kebutuhan mendesak, maka itu tidak sesuai dengan tujuan iktikaf, yaitu tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dan fokus mendekat kepada Allah.
Diskusi semakin hidup dengan pertanyaan dari audiens. Salah satunya dari Ustaz Amir yang bertanya, “Apakah iktikaf harus mematikan lampu agar khusyuk?”
Qaem menjawab bahwa tidak ada dalil yang mewajibkan lampu dimatikan. “Kekhusyukan itu soal hati, bukan tergantung remang-remang atau terang. Yang penting, suasana masjid mendukung ibadah, baik untuk yang ingin zikir maupun membaca Al-Qur’an,” ujarnya.
Qaem mencontohkan pengelolaan masjid yang fleksibel, seperti di Masjid Jamasbah, yang menyediakan ruang terpisah dengan pencahayaan berbeda untuk mengakomodasi kebutuhan jamaah.
Pertanyaan lain tentang boleh tidaknya berbelanja online saat iktikaf, misalnya memanfaatkan diskon besar di platform seperti Shopee.
Dengan nada ringan namun tegas, Qaem menjelaskan bahwa esensi iktikaf adalah melepaskan diri dari urusan duniawi yang tidak mendesak. “Kalau buka Shopee untuk cari diskon, itu jelas mengalihkan fokus dari ibadah. Iktikaf mengajarkan kita mengendalikan diri, bukan malah terjebak pada hal-hal materi,” katanya.
Tak kalah menarik, ada juga yang bertanya tentang mengajak anak iktikaf di masjid, namun anak-anak malah bermain, seperti “push rank” di game online.
Qaem menyambut baik niat mendidik anak mengenal ibadah, tetapi menekankan tanggung jawab orang tua. “Bawa anak ke masjid untuk iktikaf boleh, bahkan dianjurkan sebagai tarbiah. Tapi, pastikan mereka tidak mengganggu jamaah lain. Kalau anak rewel atau malah main game, lebih baik sesuaikan durasinya, misalnya dua-tiga jam saja untuk membiasakan mereka,” sarannya.
Qaem menutup acara dengan menegaskan bahwa iktikaf idealnya dilakukan di masjid, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW, terutama pada 10 hari terakhir Ramadan yang hukumnya sunah muakkadah.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa iktikaf tidak terbatas pada Ramadan dan bisa dilakukan kapan saja. “Pilihan terbaik adalah ke masjid, fokus ibadah, dan meninggalkan urusan duniawi sejenak. Itulah yang dicontohkan Nabi,” pungkasnya.