MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL – Dalam menghadapi tantangan global saat ini, Islam perlu menampilkan wajah yang inklusif, progresif, dan solutif. Salah satu konsep utama yang dapat menjadi landasan bagi kemajuan peradaban Islam adalah Wasathiyah Islam atau Islam Moderat. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern telah lama mengusung konsep ini untuk menciptakan umat yang seimbang dalam berbagai aspek kehidupan.
Rektor UIN Salatiga, Zakiyuddin Baidhawy, menegaskan bahwa Islam Wasathiyah bukan hanya sekadar konsep teologis, tetapi juga harus diterapkan dalam kehidupan sosial, politik, pendidikan, dan ekonomi.
“Wasathiyah Islam bukan hanya berbicara tentang keseimbangan dalam beragama, tetapi juga bagaimana kita mewujudkan Islam yang membawa manfaat nyata bagi masyarakat,” ujarnya pada Ahad (2/3) dalam Pengajian Ramadan 1446 H Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Zakiyuddin menjelaskan bahwa Islam Wasathiyah adalah ajaran yang lurus tanpa condong ke ekstremisme. Prinsip ini merujuk pada QS. Al-An’am: 6 dan tafsir Ad-Dinul Mu’tadil, yang menekankan akidah bermanfaat, amal shalih, serta prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
“Tauhid yang wasathiyah adalah tauhid yang tidak hanya berbicara tentang keimanan individu, tetapi juga bagaimana kita menjadikan tauhid sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya tasawuf irfani dalam memperdalam pemahaman tauhid melalui pendekatan spiritual.
“Meskipun dalam sejarah Islam pendekatan ini sering berbenturan dengan pemahaman wujudiyah, tasawuf irfani bisa menjadi cara untuk memahami Islam secara lebih dalam dan kontekstual,” jelasnya. Menurutnya, konteks Indonesia perlu diperhitungkan dalam memahami Islam yang lebih inklusif dan moderat.
Perlu diketahui, Islam Wasathiyah memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam Al-Baqarah ayat 143, umat Islam disebut sebagai umat pertengahan (ummatan wasathan), yang berarti harus menghindari ekstremisme dalam beragama. Ayat lain seperti Al-Qalam ayat 28 menekankan pentingnya sikap adil dan bijak dalam menjalani kehidupan, serta dan Surah Al-Adiyat ayat 5 yang mengajarkan agar manusia tidak mudah berpihak secara ekstrim, tetapi selalu berada di jalan tengah yang benar.
“Rasulullah SAW sendiri mengajarkan kita untuk berada di posisi tengah, tidak berlebihan dalam beragama, dan tidak juga lalai,” ujar Zakiyuddin.
Sementara itu, dalam konteks Muhammadiyah, Islam Wasathiyah tidak hanya menekankan keseimbangan tetapi juga pembaruan (tajdid). Sejak didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, organisasi ini mengutamakan pemikiran yang rasional dan kontekstual. Zakiyuddin menekankan bahwa Islam Wasathiyah harus mampu mendialogkan antara agama, filsafat, dan sains.
“Meskipun kita punya sejarah yang kelam terhadap filsafat Islam, tapi jangan sampai kemudian filsafat Islam dijauhi oleh umat Muslim. Mungkin ke depan, ada salah satu PTMA yang khusus membuka prodi Ilmu Filsafat, khususnya filsafat Islam, karena menurut saya itu penting,” tambahnya.
Selain itu, Zakiyuddin juga menyoroti tujuh ciri utama Islam Wasathiyah yang harus dijadikan pedoman dalam membangun karakter bangsa, yaitu Tawasuth (moderat), Tawazun (seimbang), I’tidal (adil), Tasamuh (toleransi), Musyawarah (demokratis), Islah (reformatif dan inovatif), dan Qudwah Hasanah (tauladan baik).
“Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi negara dengan peradaban Islam yang unggul, asalkan kita benar-benar mengamalkan Islam Wasathiyah dalam setiap aspek kehidupan,” ungkapnya.
Dengan demikian, Islam Wasathiyah harus menjadi prinsip hidup yang diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, sosial, hingga politik. Melalui pendekatan moderat dan progresif, umat Islam dapat memainkan peran strategis dalam membangun masyarakat yang harmonis, adil, dan berkemajuan, sebagaimana yang dicita-citakan Muhammadiyah sejak awal berdirinya. (ain)