MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Mengawali ceramahnya, Mahli Zainuddin membacakan Surah At-Taubah ayat 33: “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia mengunggulkannya atas semua agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.”
Di Masjid KH Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Jumat malam (14/03), Mahli Zainuddin Tago menjelaskan bahwa ayat ini menjadi pijakan utama untuk mengupas keunggulan Islam di tengah keragaman agama di dunia.
“Dunia ini penuh dengan ratusan, bahkan mungkin ribuan agama,” ujar Mahli dengan nada yang mengajak refleksi.
Ia mencontohkan adanya studi perbandingan agama di berbagai universitas, seperti Prodi Ilmu Perbandingan Agama di UIN Sunan Kalijaga atau Comparative Study of Religion di kampus-kampus dunia.
“Di Indonesia, secara politik kita mengakui enam agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tapi kalau secara akademis, ada agama suku yang jumlahnya ratusan,” tambahnya.
Mahli lalu mengajak jemaah menyelami keragaman tersebut. Ia menyebut agama Parmalim di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, yang memengaruhi tradisi kekristenan masyarakat Batak, serta agama Kaharingan di kalangan suku Dayak. Di Jawa, ada aliran kepercayaan atau kebatinan yang juga dianggap sebagai bentuk agama suku.
“Agama secara ilmiah bisa didefinisikan sebagai kepercayaan pada sesuatu yang gaib. Nah, dari situlah muncul konsep ketuhanan yang beragam,” paparnya.
Namun, Mahli menegaskan bahwa Islam memiliki keunggulan yang tak tertandingi, sebagaimana tersirat dalam ayat yang ia bacakan. “Keunggulan itu terletak pada dua aspek utama: sumber ajarannya dan isi ajarannya,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa Al-Qur’an sebagai wahyu langsung dari Allah menjadi fondasi yang tak bisa disaingi oleh agama lain. “Ini pembahasan panjang, tapi intinya, Al-Qur’an adalah sumber yang otentik dan murni,” tegasnya.
Lebih lanjut, Mahli memfokuskan ceramahnya pada konsep ketuhanan dalam Islam. “Hampir seluruh agama di dunia sudah diteliti oleh antropolog dan filsuf. Ada ratusan konsep Tuhan, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi,” ungkapnya.
Ia kemudian memaparkan jenjang konsep ketuhanan secara runtut, mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling mulia. “Konsep paling rendah itu animisme dan dinamisme,” jelas Mahli.
Ia memberikan contoh dari pengalaman masa kecilnya di Kerinci, Sumatera. “Dulu, harimau bukan cuma hewan buas, tapi dianggap punya kekuatan gaib. Kalau ketemu jejaknya di hutan, kita nggak boleh bilang ‘ada harimau’, tapi ‘ada nenek lewat’. Itu untuk menaklukkan rasa takut, baik pada kekuatan fisik maupun gaibnya.”
Ia juga menyebut totem di kalangan suku Dayak, seperti burung atau senjata tertentu yang dianggap memiliki roh ketuhanan.
Kemudian, ia naik ke tingkat berikutnya: politeisme. “Ini keyakinan pada banyak dewa, seperti Nyai Roro Kidul yang jadi penguasa Pantai Selatan Jawa, dari Banyuwangi sampai Pelabuhan Ratu,” tuturnya.
Menurut Mahli, munculnya kepercayaan ini bisa dijelaskan secara sosiologis karena ganasnya ombak di pantai selatan dibandingkan utara. “Tapi nggak ada Nyai Roro Lor atau Nyai Roro Wetan, cuma lokal di selatan,” candanya, disambut tawa kecil jemaah.
Tingkat selanjutnya adalah henoteisme. “Ini percaya pada banyak dewa, tapi ada satu dewa yang lebih dihormati,” kata Mahli sambil mengambil contoh Candi Prambanan. “Di sana ada patung Dewa Siwa yang paling besar, karena dibangun oleh penganut Siwaisme. Dewa lain dihormati, tapi Siwa nomor satu.”
Puncaknya, Mahli sampai pada monoteisme, konsep ketuhanan tertinggi yang dimiliki Islam.
“Hanya ada satu Tuhan. Nggak mungkin ada banyak Tuhan berbagi kekuasaan, karena Tuhan itu Maha Segalanya. Dalam satu kampus cuma ada satu rektor, dalam satu negara cuma ada satu presiden. Dalam alam semesta, yang paling rasional ya cuma satu Tuhan,” paparnya dengan penuh keyakinan. “Itulah keunggulan Islam: konsep Tuhannya paling monoteistis.”
Mahli tak lupa mengingatkan jemaah agar waspada. “Kadang kita tergelincir dari monoteisme ke henoteisme. Misalnya, takut pakai baju hijau di Pantai Selatan karena Nyai Roro Kidul, atau panggil ‘nenek’ pas ketemu jejak harimau. Itu syirik, menyekutukan Allah, dan Allah paling benci itu,” tegasnya, mengutip bahwa syirik adalah dosa besar yang tak diampuni kecuali dengan taubat.
Di akhir ceramah, Mahli berpesan dengan nada ringan namun penuh makna, “Hati-hati, jangan sampe syahadat kita batal gara-gara jadi musyrik. Kalo nomor rekening kita dihapus, nggak ada tabungan yang masuk!”