Di sudut kamar kos yang sempit, Imron Rivaldi duduk bersila di atas kasur tipisnya. Cahaya lampu neon yang temaram menyelinap di antara tumpukan buku sejarah yang mulai berdebu. Malam itu, ia tenggelam dalam lembar-lembar catatan kelam tentang era kolonialisme di Indonesia.
Mata Imron menyipit, alisnya berkerut, dan darahnya terasa mendidih oleh kemarahan yang membuncah di dadanya. Bagaimana mungkin, pikirnya, ketidakadilan bisa dibungkus rapi dalam bentuk hukum, lalu disajikan sebagai sesuatu yang sah, bahkan dianggap mulia?
Di sisi lain, Malik Senja Ramadan, teman sekosnya, sedang asyik menggulir layar ponselnya, sesekali tertawa kecil melihat meme yang lelet loading karena sinyal jelek.
“Lik, dengar ini. Hukum di zaman kolonial itu parah banget. Bukan cuma nindas, tapi juga pura-pura adil atasnama peraturan.”
“Kebiasaanmu, Mron, tiba-tiba nyerocos gitu aja.”
“Hehehe maaf.”
“Bentar cerna dulu.”
“Okay, Lik.”
“Jadi maksudnya apa? Apa yang salah dari kolonial Belanda bikin aturan?”
“Salah bangetlah gila.”
“Contohnya kayak gimana?”
“Contohnya Ordonansi Guru 1925, Lik. Guru pribumi kudu punya izin resmi buat ngajar, katanya sih biar mutu terjamin. Tapi aslinya? Itu cuma alat kontrol. Pemerintah kolonial takut guru-guru nyanyi lagu kebangsaan di kelas, takut rakyat jadi pinter dan berontak. Jadi, kalau ada yang ‘membahayakan’, langsung dibungkam. Legal, katanya.”
“Guru nggak boleh ngajar gitu? Terus kenapa takut?”
Imron menghela napas, tahu betul Malik bukan tipe yang langsung mengerti dengan cerita berat kayak gini. Malik orangnya santai, lebih suka diskusi panjang soal bola atau anime daripada sejarah yang bikin kepala pening. Tapi Imron tak menyerah. Ia ingin Malik paham, dan ia tahu caranya.
“Oke, Lik, bayangin kalau ada pertandingan bola. Tim pribumi itu kayak klub kecil yang punya pemain berbakat dan semangat tinggi. Tapi wasitnya Belanda, aturan mainnya juga dibuat sama mereka. Pas pemain pribumi cetak gol, tiba-tiba aturan berubah. Offside, katanya. Tapi pas tim Belanda ngegolin dari posisi yang sama? Sah! Nah, Ordonansi Guru itu kayak aturan offside yang cuma berlaku buat tim pribumi. Supaya mereka nggak bisa menang.”
“Ooooh… Jadi kayak VAR yang sengaja dibuat error buat tim tertentu?”
“Tepat! Hukum kolonial kayak VAR yang cuma berpihak ke satu sisi. Kelihatannya adil, tapi aslinya buat ngalahin kita.”
Imron kemudian menjelaskan bahwa dengan adanya Ordonansi Guru, pemerintah kolonial tidak ingin benih kesadaran rakyat bertunas di kelas-kelas sederhana itu. Mereka takut pada guru-guru yang berani menyelipkan semangat kemerdekaan di antara pelajaran membaca dan berhitung. Selain itu, mereka punya kuasa untuk membungkam siapa saja yang dianggap “berbahaya”. Dan semua itu atas nama hukum, tentu saja.
Belum selesai keterkejutannya, Imron melanjutkan cerita lain yang lebih memilukan: Tanam Paksa. Dalam peraturan ini, pemerintah mewajibkan rakyat pribumi menyerahkan 20% tanahnya untuk tanaman ekspor seperti kopi, teh, dan tebu.
Jika tidak memiliki tanah, orang-orang pribumi harus bekerja untuk pemerintah kolonial selama 66 hari per tahun tanpa upah yang layak. Praktiknya sering melebihi batas, dengan eksploitasi yang menyebabkan kelaparan dan kemiskinan, terutama di Jawa.
“Lik, dengerin lagi. Tanam Paksa itu hukum yang maksa petani nyerahin hasil bumi ke Belanda. Bayangin, mereka udah capek-capek nanem, panen, tapi nggak boleh makan sendiri. Kudu kasih ke penguasa. Kalau nolak? Penjara atau cambuk. Legal, katanya, tapi jelas nggak adil. Petani cuma pengen hidup, Lik, tapi hukum malah jadi alat buat peras mereka sampai kering.”
Malik mengerutkan kening lagi, kali ini lebih bingung. “Tunggu, Mron. Jadi petani itu kayak dibenci gitu? Tapi kan mereka cuma nanem biasa. Aku nggak ngerti, ini kok ribet banget.”
Imron menggaruk kepala, lalu tiba-tiba matanya berbinar. Ia tahu bahasa apa yang bakal nyantol di kepala Malik. Wibu satu ini lebih akrab dengan dunia anime daripada dunia nyata.
“Bayangin dunia Naruto, Lik. Desa-desa kecil di luar Konoha itu kayak rakyat pribumi. Mereka yang kerja keras bertani, ngurus sawah, ngumpulin hasil bumi. Tapi siapa yang nikmatin? Pemerintah shinobi! Klan-klan besar di Konoha kayak Uchiha, Senju, atau Hyuga yang dapat keuntungan. Mereka punya jutsu, mereka punya kekuatan, dan mereka yang nentuin aturan. Rakyat sipil cuma disuruh kerja, tapi nggak pernah benar-benar merasakan hasilnya.”
Malik terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Jadi kayak petani-petani itu kerja buat shinobi, tapi tetap miskin, ya?”
“Nah, itu dia! Para shinobi ini kayak pemerintah kolonial. Mereka yang bikin aturan, tapi nggak ngerasain susahnya kerja di bawah aturan itu. Mereka yang dapat keuntungan, sementara rakyat tetap sengsara.”
Imron menutup buku di depannya, tapi pikirannya terus berputar. Hukum tanpa keadilan, baginya, ibarat pisau bermata dua yang licik. Di satu sisi, ia memberi kesan tertib dan beradab, tetapi di sisi lain, ia bisa menjadi alat untuk melegitimasi kejahatan yang lebih kejam dari kejahatan itu sendiri.
“Jadi, Mron, maksudmu hukum itu selalu jahat?”
“Nggak selalu, Lik. Tapi hukum tanpa keadilan? Itu lebih kejam dari kejahatan biasa.”
“Kenapa bisa begitu?”
“Bayangin gini, Lik. Kejahatan biasa itu kayak maling masuk rumah orang malam-malam. Semua orang tahu itu salah. Tapi kalau malingnya pakai jas, bawa dokumen hukum, terus bilang dia punya hak buat ambil barang di rumahmu, itu lebih licik, kan? Karena tiba-tiba orang yang dicuri malah disuruh nerima nasibnya sebagai sesuatu yang sah.”
“Oh gitu, Mron.”
“Iya. Lik.”
“Tapi kolonialisme kan udah lama selesai. Masih relevan nggak pemikiran kayak gini?”
Imron menjelaskan bahwa sejarah kolonialisme mungkin sudah jadi masa lalu, tapi hantu-hantu ketidakadilan itu tak pernah benar-benar pergi. Boleh jadi, ia hanya berganti wajah, lebih halus, lebih cerdas, tapi tetap sama culasnya.
Ketika hukum hanya jadi mainan di tangan yang kuat, ketika aturan dibentuk bukan untuk melindungi yang lemah melainkan untuk menjaga singgasana yang tinggi, maka hukum itu kehilangan hakikatnya. Ia bukan lagi hukum, melainkan kejahatan yang diberi stempel resmi.
“Dan itulah, bentuk kejahatan paling licik yang pernah ada,” ujar Imron.
“Jadi, yang dianggap adil oleh para dewan hari ini, bisa jadi cuma topeng, ya?”
“Dan topeng itu, Lik, yang paling sulit untuk kita lepasin.”
“Contoh peraturan sekarang yang nggak punya semangat keadilan apa?”
“Emm anu, Lik.”
Teng… Teng… Teng… Soo baksooo.
#KontrakanImron