MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Kemampuan dan kelebihan, termasuk jabatan dan kekayaan harus dibimbing oleh hati yang dihidupkan oleh Al Qur’an, sehingga tidak jatuh pada jurang kesesatan yang menyalahi aturan Tuhan.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada Senin (17/3) dalam Kajian Nuzulul Qur’an yang diadakan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balairung.
Bahkan terjadinya tindak pidana korupsi, kata Haedar, potensial dilakukan oleh orang yang memiliki kelebihan dan punya kemampuan melebihi yang lain. “Itulah ciri manusia ketika diberi keutamaan, kelebihan, kesempatan justru menyalahgunakan,” katanya.
Oleh karena itu, bagi muslim penting untuk merefleksikan Al Qur’an dalam kehidupannya. Sebab Al Qur’an diturunkan ke manusia juga untuk menghidupkan hati, yaitu dengan cara membaca dan mendalami Al Qur’an.
“Di Bulan Ramadan kita dipaksa oleh ekosistem untuk membaca Al Qur’an itu menghidupkan hati, bahkan di saat resah sekalipun ketika Al Qur’an kita baca ada getaran,” ungkap Haedar.
Manusia diciptakan memiliki dua kecenderungan, yaitu bisa menjadi baik seperti malaikat maupun sebaliknya bisa berbuat kerusakan layaknya iblis. Oleh karena itu Al Qur’an dibutuhkan sebagai pemandu supaya potensi membuat kerusakan dapat ditekan.
Haedar Nashir juga mengingatkan, manusia tidak akan hidup selamanya. Manusia pasti akan kembali ‘pulang’. Supaya tidak salah jalan pulang, Al Qur’an dibutuhkan sebagai petunjuk untuk arah hidup.
“Di situlah Al Qur’an menjadi petunjuk tentang arah hidup kita, tentang tujuan hidup kita, yang dalam filosofi Jawa disebut sangkan paraning dumadi – dari mana kita berasal untuk apa kita hidup, mau apa setelah kita mati,” tuturnya.
Pada bulan Ramadan ini, Haedar mengajak seluruh umat muslim untuk mengetahui tujuan hidup, dan menghafal jalan pulang. Jadikan kesempatan hidup yang diberikan ini tak lain untuk meraih rida dan karunia Allah SWT.
Oleh karena itu, lakukan amal dan ibadah lainya dengan senang hati. Setelah beramal jangan kemudian berlagak paling suci, sebab jumlah amal tidak menentukan balasan surga, karena itu hak prerogatif Allah SWT semata.