MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Gencatan senjata antara Palestina dan Israel yang ditandatangani pada 19 Januari 2025 telah berakhir pada 18 Maret 2025. Berakhirnya perjanjian itu berpotensi memicu kembali terjadinya perang.
Pakar politik Timur Tengah, yang juga Duta Besar Indonesia Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Lebanon, Hajriyanto Y, Thohari memandang, potensi perang kembali mencuat karena ada faktor Amerika Serikat yang kembali dipimpin Donald Trump.
“Penguasa Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump ini memang sangat merangsang Israel untuk kembali melakukan aksi-aksinya. Karena Donald Trump pendukung total zionisme Israel,” kata Hajriyanto pada Selasa (18/3).
Dalam Dialog Ramadan 1446 H yang diadakan Pusat Studi Muhammadiyah itu Hajriyanto mengungkapkan, Donald Trump sama sekali tidak memiliki pandangan two state solution yang selama ini menjadi konsep perdamaian yang dipegang oleh dunia internasional.
“Dalam pandangan saya, Trump ini tidak memiliki antusiasme sama sekali terhadap konsep tersebut. Kalau melihat draft dari rancangan atau proposal perdamaian yang diajukan oleh Trump pada 2020, itu pada masa kepresidenan pertama itu judulnya peace to prosperity itu tidak ada satupun kalimat yang mengarah kepada two state solution,” katanya.
Hajriyanto memandang, dalam proposal perdamaian yang diajukan oleh Trump yaitu peace to prosperity pada 2020 itu berat sebelah. Sebab memberikan banyak keuntungan untuk Israel dan memberikan kerugian yang besar bagi Palestina.
Tak hanya itu, Donald Trump juga memasang orang-orang yang satu suara dengannya dalam memandang masalah Palestina dengan Israel. Bahkan perwakilan AS di PBB, Elise Stefanik dalam pidatonya melabeli negara-negara pendukung Palestina sebagai teroris.
Situasi Gaza dan Dukungan Internasional Pasca Perang Oktober 2023
Penyerangan yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina sejak Oktober 2023 silam, kata Hajriyanto, tidak semata urusan kepercayaan atau agama. Tapi juga ada kecemburuan Israel terhadap Palestina yang mulai mampu berbenah dan tampil lebih lebih baik.
Banyak ahli mengatakan, pasca perang yang meletus pada Oktober 2023 itu, infrastruktur di Gaza, Palestina mengalami kemunduran atau setback sampai ke 75 sampai 85 tahun ke belakang. Perang itu juga menimbulkan korban yang berjumlah 46.500 jiwa, dan 60 persen di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Tak pelak, International Court of Justice (ICJ) menyebut kejadian itu sebagai genosida dan mengeluarkan surat penangkapan untuk Benjamin Netanyahu dan Mantan Menteri Pertahanan Israel Israel Yoav Gallant.
“Karena peristiwa-peristiwa genosida yang luas biasa tersebut, orang Barat juga mulai banyak yang siuman, rasa kemanusiaan. Demo-demo di kota besar Barat sangat besar, termasuk juga di Amerika Serikat,” katanya.
Gempuran yang dilancarkan oleh Israel selama setahun dan bertubi-tubi itu tidak hanya melemahkan Palestina saja. Melainkan juga di negara-negara tempat Hizbullah tumbuh. Misalnya saja seperti di Lebanon dan Suriah, termasuk juga di Irak dan Iran.
Menurutnya, perlawanan yang diberikan oleh dunia Islam baik yang melalui aksi demo maupun fisik terhadap Israel tidak begitu digubris oleh AS dan Israel. Harjiyanto memandang, suara yang didengar oleh AS justru dari Barat yang siuman dan mulai berempati ke Palestina, dengan harapan untuk membangun dunia yang lebih damai.
“Tetapi nanti yang akan sangat besar pengaruhnya bagi kemungkinan kemerdekaan Palestina itu datang dari Barat,….. karena yang paling ditakuti oleh Israel dan Amerika Serikat. Karena sebetulnya eksistensi Israel itu ditopang oleh Barat,” ungkap Hajriyanto.
Berdirinya Israel, sambungnya, hanya relevan jika diletakkan dalam konteks kolonialisme dan imperialisme. Karena Israel adalah ‘proyek’ dari negara-negara Barat kolonial. Saat ini Barat sudah mulai ada perubahan dan itu angin segar bagi kemerdekaan Palestina.