Di malam terakhir Ramadan, Masjid Al-Furqan dipenuhi suasana khusyuk. Cahaya lampu temaram memantul di dinding-dinding putih, sementara aroma kopi dan kurma sesekali tercium dari sudut ruangan. Imron Rivaldi dan Agung Satria Baja Hitam, dua karib yang sedang iktikaf, duduk bersila di atas sajadah.
Awalnya, kedua fans Persib Bandung itu hanya berniat mengisi waktu dengan ngobrol santai sambil menunggu waktu sahur. Namun, obrolan ringan itu tiba-tiba berubah menjadi debat sengit yang penuh gairah.
Semuanya bermula saat Agung, dengan nada penuh keyakinan, melempar pernyataan yang mengguncang Imron.
“Ibadah yang mengharapkan surga atau takut pada neraka itu tidak murni, Mron.”
“Kenapa bisa begitu kesimpulannya, Gung?”
“Kalau kamu salat, puasa, atau iktikaf cuma karena pengen bidadari surga atau takut disiksa di neraka, itu artinya ibadahmu pamrih. Allah jadi nomor dua, surga dan neraka yang nomor satu.”
“Lho, kok gitu? Aku ibadah ya memang karena pengen surga, Gung. Bidadari, istana megah, makanan enak, siapa yang nolak? Terus apa salahnya? Bukannya Allah sendiri yang janjiin itu semua?”
“Itu cuma modus komunikasi, Mron. Surga, neraka, bidadari, mahkota kehormatan, it’s all persuasion strategy. Allah dan Rasulullah tahu manusia itu bebal, susah diatur. Jadi, dikasih iming-iming biar nurut. Tapi kalau ibadahmu cuma buat ngejar itu, ya maaf, itu bukan ibadah yang ikhlas. Kamu cuma budak nafsu yang nyamar jadi hamba Allah.”
“Eh, tunggu dulu. Jadi menurutmu, aku ibadah karena pengen surga itu salah? Terus Nabi Ibrahim gimana? Dia kan berdoa minta surga, tercatat jelas di Al-Qur’an, Surat Asy-Syu’ara ayat 85: ‘Jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mewarisi surga penuh kenikmatan.’ Apa Nabi Ibrahim juga pamrih?”
“Itu beda konteks, Ron. Doa Nabi Ibrahim itu ekspresi tawakal, bukan target. Dia minta surga karena dia tahu itu hak prerogatif Allah, bukan karena dia haus kenikmatan duniawi. Kalau kamu ibadah cuma buat bercumbu sama bidadari atau melampiaskan nafsu perut, itu mah ibadahmu jadi transaksional. Kayak dagang sama Allah. Ibadah yang murni ya cuma karena Allah, titik. Tanpa embel-embel.”
“Aku ngerti maksudmu, Gung. Ibadah memang harus karena Allah, itu udah paten. Tapi kenapa harus dibenturkan sama surga atau neraka? Bukannya Allah sendiri yang kasih gambaran surga dan neraka biar kita termotivasi? Di Surat Al-Furqan ayat 65, orang-orang saleh berdoa, ‘Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab neraka dari kami.’ Itu artinya mereka takut neraka, dan otomatis pengen surga. Apa mereka juga gak ikhlas?”
Agung mengernyit.
Imron tak memberi celah.
“Terus, Gung, coba lihat doa-doa dalam salat. ‘Ihdi nash-shirathal mustaqim’, minta petunjuk. ‘Rabbana atina fid-dunya hasanah’, minta kebaikan dunia dan akhirat. Itu semua harapan, Gung! Jadi, ibadah itu ya tahapannya gini: kita sembah Allah, lalu kita minta yang baik-baik. Aku ibadah karena Allah, tapi sekaligus berharap surga, minta rezeki lancar, kesehatan, anak saleh. Apa itu salah?”
“Masalahnya, Mron, kalau harapanmu itu jadi tujuan utama, ibadahmu kehilangan esensi. Surga dan neraka itu makhluk, ciptaan Allah. Pantas apa mereka jadi alasan utama ibadah? Harusnya Allah aja yang cukup. Kalau kamu ibadah cuma biar gak masuk neraka, ya sama aja kayak orang takut ke dokter gigi, bukan karena sayang dokter, tapi takut sakit.”
“Analogi dokter gigi itu lucu, Gung, tapi gak pas. Aku ibadah karena cinta Allah, tapi aku juga manusia biasa yang punya harapan. Allah sendiri bilang di Surat Al-Mu’min ayat 60, orang yang gak pernah minta sama Dia itu sombong. Jadi, ibadahku karena Allah, tapi aku boleh dong minta bonus surga? Kayak kerja di kantor, gaji utama itu kepuasan hati, tapi bonus akhir tahun ya tetep dinanti! Sekali lagi aku tanya, apa itu salah?”
“Justru itu masalahnya, Mron. Kalau ibadahmu cuma mengharapkan imbalan entah surga, bidadari, atau apa pun, mending gak usah ibadah. Buat apa capek-capek salat, puasa, iktikaf, kalau ujungnya cuma transaksi? Ibadah itu harus steril dari harapan apa pun selain Allah. Surga dan neraka itu cuma efek samping, bukan tujuan. Kalau kamu ibadah cuma buat imbalan, ya sama aja kayak buruh yang kerja cuma nunggu gaji, gak ada ruhnya.”
“Itu logika sok sufistik, Gung! Berdalih memurnikan ibadah, tapi ujung-ujungnya malah narsistik. Kamu bilang ibadah yang mengharapkan imbalan gak perlu dilakukan, nah, itu justru destruktif! Kesimpulannya apa? ‘Mending gak usah ibadah’? Itu sama aja nyuruh orang ninggalin kewajiban. Aku lihat gelagatmu ini mirip orang-orang yang belagak sufi, padahal cuma pengen pamer intelektual. Ibadahku karena Allah, tapi aku manusia biasa yang punya harapan, sekali lagi, apa itu salah?”
“Bukan sok sufi, Mron. Aku cuma bilang, ibadah yang bercampur pamrih itu gak sampai ke Allah. Kalau kamu bilang manusiawi punya harapan, ya boleh. Tapi kalau harapan itu jadi motor utama ibadahmu, ya ibadahmu cuma topeng. Allah gak butuh salatmu, puasamu, atau iktikafmu. Dia cuma lihat hatimu. Kalau hatimu penuh sama bidadari dan istana surga, ya maaf, itu bukan ibadah, itu cuma angan-angan.”
“Tapi Allah sendiri yang kasih angan-angan itu, Gung! Surga dan neraka itu oposisi biner. Kalau aku berdoa dijauhkan dari neraka, ya otomatis aku ngarep surga. Itu wajar, dan Allah izinin. Sekali lagi kubilang, di Surat Al-Mu’min ayat 60, Allah bilang orang yang gak minta sama Dia itu sombong. Jadi, ibadahku karena Allah, tapi aku minta juga surga, rezeki, kesehatan. Lagi dan lagi, apa itu salah?”
“Kamu keras kepala, Mron. Aku bilang lagi: kalau ibadahmu cuma buat bonus, mending gak usah. Allah gak butuh transaksi. Ibadah itu pengabdian total, bukan barter. Surga itu hadiah, bukan gaji. Mending nggak usah ibadah kalau mengharap bonus.”
“Dan aku bilang lagi: itu nalar destruktif. Nyuruh orang gak ibadah cuma karena mereka punya harapan? Itu sama aja nyuruh orang ninggalin agama. Aku ibadah karena Allah, tapi aku juga manusia yang diciptakan dengan nafsu dan harapan. Allah tahu itu, makanya Dia kasih motivasi surga dan ancaman neraka. Jadi, aku tetep ibadah, dan aku tetep ngarep bidadari surga. Titik!”
“Mron, dengar baik-baik. Ibadah itu harus kosong dari agenda pribadi. Kalau kamu masih ngotot ngarep bidadari atau apa pun, itu artinya kamu gak paham hakikat ibadah. Allah gak jadi pusat, tapi harapanmu yang jadi pusat. Mending gak usah ibadah kalau gitu, daripada pura-pura suci tapi hatimu penuh nafsu.”
“Gung, aku setuju ibadah itu harus karena Allah. Aku jelasin, ya, ini mungkin terakhir karena aku udah capek sekali. Okay?”
“Okay, Mron.”
“Kalau masih nggak setuju juga, itu urusanmu, Gung. Okay?”
“Okay. Apa emang?”
“Pokoknya terserah kamu nanti mau gimana, ya, aku bakal jelasin. Okay?”
“Okay, Mron, gimana emang?”
“Kalau tetep sama posisimu, aku hargai karena udah lelah juga. Okay?”
“Iya, apa Bambaaangg?!!!”
“Gak usah emosi, nanti ibadahmu tercampur dengan kemarahan. Okay?”
“Okay, okay, gimanaaa?!!!”
“Gini, mengharapkan hal-hal duniawi atau kesenangan surga itu sah-sah saja, asal kita gak berdoa selain kepada Allah. Yang dilarang itu menyembah selain Dia, minta ke dukun atau berhala. Tapi kalau aku ibadah karena Allah, lalu kuucapkan, ‘Ya Allah, terimalah ibadahku dan masukkan aku ke surga,’ apa itu salah? Itu doa, Gung, bukan transaksi. Allah yang janji, aku yang minta. Jadi, aku ibadah karena Dia, dan aku berharap karena Dia pula. Kalau kamu bilang itu pamrih, ya silakan, tapi Al-Qur’an bilang itu manusiawi.”
Agung tak lagi merespons Imron. Debat yang panjang itu seolah mencapai titik jenuh. Mereka berdua lalu beralih ke meja kecil di sudut masjid, mengambil piring untuk makan sahur dengan nasi dan lauk sederhana yang disediakan jamaah.
Suasana hening, hanya terdengar bunyi sendok dan piring yang sesekali bersentuhan. Tak lama kemudian, azan Subuh berkumandang, mengisi udara dengan panggilan suci.
Setelah salat subuh usai, Imron duduk di samping Agung, masih dengan sisa senyum dari debat tadi. Tiba-tiba, ia mendengar Agung berdoa pelan:
“Ya Allah, berikan hamba pasangan yang salehah, rezeki yang melimpah, dan kehidupan duniawi yang berkah.”
#KontrakanImron