MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Dalam Pengkajian Ramadan 1446 H yang digelar Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Jakarta pada Jumat (07/03), Ustaz Adi Hidayat (UAH) mengupas konsep Wasathiyah sebagai kunci transformasi umat Islam.
Dalam ceramahnya, Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini tidak hanya membahas definisi dan landasan Al-Qur’an tentang Wasathiyah, tetapi juga memberikan bukti sejarah serta panduan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari.
Mengawali paparannya, Ustaz Adi menjelaskan bahwa Wasathiyah berakar dari kata “wasatH” yang berarti tengah, melambangkan keseimbangan dan keadilan. Ia membedakan “wasatHun” (posisi tengah secara fisik) dengan “Wasathiyah” (sifat atau karakter tengah yang ideal).
“Wasathiyah adalah karakter yang menjadikan seseorang sebagai acuan kebenaran, seperti wasit yang netral dan diikuti oleh semua pihak,” katanya, seraya mengilustrasikan dengan posisi tengah pada penggaris sebagai simbol stabilitas.
Beliau kemudian mengaitkan konsep ini dengan Al-Qur’an, khususnya Surah Al-Baqarah ayat 143, satu-satunya ayat yang secara eksplisit menyebut “ummatan wasatHan.” Menurutnya, ayat ini turun di Madinah sebagai respons atas perdebatan tentang kiblat, menegaskan bahwa keunggulan umat tidak ditentukan oleh tempat atau keturunan, melainkan oleh karakter Wasathiyah yang seimbang dan adil.
Ustaz Adi merujuk pada tafsir klasik, seperti karya Imam Al-Baghawi, untuk memperkuat argumennya bahwa Wasathiyah adalah solusi atas klaim-klaim superioritas yang sempit.
Lebih jauh, Ustaz Adi membuktikan kekuatan Wasathiyah melalui sejarah Islam. Ia menyebut transformasi masyarakat Makkah dan Yatrib di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW sebagai contoh nyata. “Dalam waktu singkat, dari masyarakat terbelakang, Nabi membangun peradaban unggul di Madinah dengan masjid sebagai pusat pendidikan spiritual, intelektual, dan fisik,” ujarnya.
Beliau juga mencontohkan penyebaran Wasathiyah oleh para sahabat ke Afrika Utara, Andalusia, hingga Nusantara, yang mengubah wilayah-wilayah tersebut menjadi pusat kemajuan tanpa peperangan masif, melainkan melalui kebaikan dan keteladanan.
Dalam konteks kekinian, Ustaz Adi mengajak jamaah, khususnya warga Muhammadiyah, untuk merefleksikan penerapan Wasathiyah. Ia mempertanyakan mengapa umat Islam di Indonesia, dengan jumlah besar dan Al-Qur’an yang sama, belum mampu mencapai keunggulan seperti generasi awal Islam. “Boleh jadi Wasathiyah hanya menjadi klaim, bukan praktik,” tegasnya.
Beliau menekankan bahwa Wasathiyah harus tercermin dalam sikap seimbang, tidak terlalu keras seperti karakter Yahudi dalam tafsir At-Thabari, maupun terlalu lembek seperti Nasrani, sehingga menjadi teladan dunia dan saksi kebenaran ajaran Nabi di akhirat.
Ustaz Adi menyampaikan bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama Wasathiyah, yang dirancang sebagai kurikulum hidup dari lahir hingga akhir hayat. Ia menguraikan bagaimana ayat-ayat Al-Qur’an mengatur setiap fase kehidupan, mulai dari kandungan hingga pernikahan, sebagai pedoman menuju “falah” (kesuksesan dan kebahagiaan).
“Wasathiyah, jika dipraktikkan, akan mengantarkan kita menjadi manusia unggul dunia-akhirat,” katanya.