Malam itu, langit Makkah begitu pekat. Di sebuah gua sunyi di Jabal Nur, seorang lelaki duduk merenung. Hatinya gelisah, pikirannya penuh tanya. Tiba-tiba, kegelapan itu terpecah oleh kehadiran sosok cahaya.
“Iqra’,” suara itu menggema, menggetarkan seisi gua. Lelaki itu, Muhammad bin Abdullah, menggigil. “Aku tidak bisa membaca,” jawabnya dengan gemetar. Namun suara itu tak berhenti, hingga akhirnya lima ayat pertama Surat Al-‘Alaq menembus langit malam dan mengubah sejarah peradaban manusia.
Peristiwa itu kini dikenang sebagai Nuzulul Qur’an, malam di mana wahyu pertama turun kepada Rasulullah Saw. Setiap 17 Ramadan, umat Islam memperingatinya sebagai malam turunnya Kalam Ilahi untuk pertama kali ke bumi.
Namun, di saat yang sama, ada malam lain yang juga begitu sakral: Lailatul Qadr. Malam penuh misteri yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai malam turunnya kitab suci ini.
Lantas, bagaimana mungkin Al-Qur’an turun dalam dua peristiwa yang berbeda?
Sejarah mencatat, Al-Qur’an tidak turun sekaligus. Ia melewati dua fase besar dalam perjalanan wahyunya.
Pertama, Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus dari Al-Lauh Al-Mahfuz ke Langit Dunia pada malam yang disebut Lailatul Qadr. “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar,” demikian firman Allah dalam QS. Al-Qadr ayat 1.
Namun, dari Langit Dunia, wahyu itu belum langsung diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Ia turun secara bertahap selama 23 tahun, menyesuaikan dengan dinamika kehidupan, menjawab kegelisahan, dan menjadi petunjuk bagi umat manusia. Dan inilah fase kedua, yang dimulai pada malam 17 Ramadan, saat Jibril As menyampaikan wahyu pertama di Gua Hira.
Dua peristiwa ini bukanlah sesuatu yang bertentangan, melainkan saling melengkapi. Lailatul Qadr menandai momen agung turunnya Al-Qur’an secara keseluruhan, sedangkan Nuzulul Qur’an menandai awal penyampaian wahyu kepada manusia.
Singkatnya, Lailatul Qadr mengingatkan kita pada kebesaran Allah yang melampaui ruang dan waktu, sementara Nuzulul Qur’an menunjukkan bagaimana petunjuk itu dirancang untuk menyapa kemanusiaan secara nyata, selangkah demi selangkah.
Al Quran bukanlah kitab yang jatuh begitu saja dari langit dalam bentuk jadi. Kitab suci ini merupakan wahyu yang hidup. Turun sesuai denyut kehidupan umat. Dan setiap Ramadan, baik pada Lailatul Qadr maupun pada malam 17 Ramadan, kita diajak kembali pada esensi itu: membaca, memahami, dan menghidupkan petunjuk yang telah turun.