Pagi yang cerah tiba-tiba jadi horor buat Imron Rivaldi. Hapenya bergetar hebat, nomor tak dikenal muncul. Dengan sedikit ragu, dia angkat, “Halo, siapa ya?” Suara di ujung sana langsung nyerocos secara bertubi-tubi.
“Kamu saudaranya Malik? Imron, ya? Bayar cepet ini utangnya, sudah jatuh tempo! Totalnya 8 juta, beserta bunganya, ya! Jangan coba-coba kabur, aku tahu alamatmu!”
“Hah? Utang? Aku? Saudaranya Malik? Tunggu, ini siapa?!”
Setelah telepon ditutup dengan nada ancaman, Imron langsung melotot ke Malik Senja Ramadan yang lagi selonjoran di kasur sebelah, pura-pura tidur tapi jelas matanya berkedip-kedip panik.
“Lik! Jelasin ini apa?!”
Malik bangun dengan ekspresi malu-malu kucing, garuk-garuk kepala. Rambutnya yang acak-acakan tambah mirip sarang burung. “Ehm, Mron… maaf ya, aku salah isi data. Aku kasih nama sama nomormu ke pinjol. Aku nggak sengaja… maksudnya, sengaja sih, tapi nggak gitu-gitu banget.”
“Pinjol? Pinjaman online? Kamu utang berapa juta, Lik?!”
“Delapan juta… kecil kok, cuma buat kebutuhan mendesak.”
“Kebutuhan mendesak apa? Beli beras? Bayar listrik? Apa kasurmu bocor?!”
Malik akhirnya buka mulut, suaranya pelan. “Aku… main judi online, Mron. Slot gitu. Awalnya menang, eh lama-lama kalah. Terus aku pinjem pinjol buat nutup, eh malah tambah dalam.”
Imron cuma bisa geleng-geleng kepala.
Malik cerita panjang lebar. Awalnya dia iseng main judi online gara-gara iklan di hape, “Cuma 50 ribu, menang jutaan!” katanya. Pertama coba, betulan menang 500 ribu. Malik kegirangan, merasa jadi raja slot. Tapi ya gitu, judi emang bikin penasaran, tapi dalamnya bikin tangisan. Dari menang 500 ribu, dia kalah 2 juta. Terus pinjam pinjol 3 juta buat balik modal, eh kalah lagi. Akhirnya jadi lingkaran setan: pinjam, main, kalah, pinjam lagi.
“Kapan mau berhenti?”
“Kalau udah balik modal, Mron. Aku udah rugi banget ini.”
“Gak bisa, Lik. Kamu tuh udah kecanduan. Harus berhenti. Gak ada orang di dunia ini yang kaya raya dari judi, apalagi online.”
“Terus gimana dong sama utang-utangku?”
“Minta orang tuamu aja.” Imron tahu betul orang tua Malik bukan orang sembarangan. Ayahnya punya bisnis grosir klontong yang laris manis, ibunya punya butik yang jadi langganan ibu-ibu sosialita. Kalau Malik minta, utang 8 juta itu cuma kayak beli benang jahit buat ibunya.
“Nggak bisa, Mron. Aku nggak mau repotin mereka. Lagian… aku udah bohong berkali-kali.”
“Bohong apa aja?”
Malik menghela napas panjang, seolah mau cerita dosa seumur hidup. “Aku pernah bilang ke Bapak sama Ibu aku butuh duit buat study tour kampus, padahal buat beli motor second. Terus minggu lalu aku bilang aku kecopetan di jalan, minta duit 5 juta, padahal aku kalah main domino online. Terakhir, aku bilang aku mau ikut kursus coding biar pinter IT, eh duitnya aku pake buat deposit slot lagi. Kalau aku cerita sekarang, semua dosa-dosaku bakal ketahuan.”
“Parah!!!”
Malik cuma diam, matanya masih sayu. Imron tak mau berhenti di situ. Dia tahu Malik harus keluar dari lubang hitam ini, dan cara paling cepat adalah cari duit dengan apa yang ada. “Lik, kamu punya barang yang nggak kepake, kan? Kita jual aja.”
“Boleh, ada TV yang udah nggak kita pake juga.”
“Okay, TV, terus, action figure Boruto-mu itu. Masih mulus, cuma numpang debu di rak. Jual aja, kan kamu nggak mainin.”
“Boruto-ku?! Nggak bisa, Mron! Itu koleksi limited edition, aku antre tiga jam di toko buat dapetin itu! Emosional banget nilainya!”
“Emosional apa? Yang emosional itu debt collector tadi, Lik! Jual aja, paling laku sejuta. Lumayan buat nutup utang,” balas Imron.
“Okay deh.”
“Terus iPad-mu yang khusus buat game itu, Lik. Jual aja. Kamu cuma pake buat slot sama Candy Crush, kan? Layarnya udah retak, tombolnya lengket, mending jadi duit.”
Malik mengangguk pelan, meski kelihatan berat sekali. “Iya, deh. Tapi aku sayang sama iPad itu, Mron. Aku pernah menang 200 ribu pake itu.”
“Dan kalah berapa juta pake itu juga? Jual, Lik. Paling laku 2 juta kalau kita bilang ‘jarang dipake’ di deskripsinya,” potong Imron cepat.
“Okay deh.”
Ide terakhir Imron bikin Malik tambah pucat. “Satu lagi, Lik. Akun Mobile Legend-mu. Rank Mythic, kan? Skinnya banyak, jual aja. Bisa laku 3 juta kalau ketemu pembeli yang fanatik.”
“Akun ML-ku?! Mron, itu darahku, keringetku! Aku grinding sampe tengah malem, begadang sampe mata panda, cuma buat naik rank! Itu legacy-ku!”
“Legacy yang bikin kamu utang 8 juta? Jual, Lik.” tegas Imron, mulai capek sama drama Malik.
“Aku bakal kangen sama Alucard-ku yang pake skin Legend itu.”
Tapi Imron tak peduli. Dia langsung buka aplikasi jual-beli online, fotoin TV, action figure Boruto, sama iPad, terus bantu Malik bikin deskripsi akun ML-nya: “Mythic, full skin, pemilik asli berhenti main karena sadar hidup lebih berharga daripada push rank.”
Dua minggu kemudian, barang-barang itu laku semua. Totalnya Rp5,7 juta. Belum nutup semua utang, tapi cukup buat bayar sebagian dulu ke debt collector biar tak teriak-teriak lagi.
Imron tahu betul gelagat orang yang kecanduan judi online. Dia pernah punya teman SMA yang sifatnya sama kayak Malik, yaitu manipulatif. Awalnya bilang, “Pinjem duit bentar, besok aku ganti!”, kemudian bohong ke orang tua, bahkan ke diri sendiri. Apalagi jika semua utang dari pinjol sudah lunas, naluri untuk bermain judi lagi semakin menggebu.
“Kamu harus putus total sama dunia judi itu, Lik. Nggak cukup cuma bilang ‘aku berhenti’. Kita harus bikin terapi buat kamu.”
“Terapi?”
“Maksudnya rehab.”
“Rehab?”
“Iya, Lik, pertama, kita ganti email di hapemu. Semua akun slot, pinjol, apa pun yang berbau judi, kita hapus. Rekening yang kamu pake buat transaksi juga kita tutup. Kita mulai dari nol.”
“Terus hapeku jadi apa dong? Cuma buat kalkulator?”
“Hape itu bukan cuma buat slot, Lik. Kita cari aktivitas baru yang bikin kamu lupa judi. Kamu kan dulu suka gambar-gambar, bikin sketsa Naruto sama Sasuke. Coba mulai lagi, seni itu bikin tenang. Atau musik, kamu kan punya gitar tua di gudang, meski senarnya tinggal tiga. Belajar main lagi, siapa tahu jadi Ed Sheeran!”
“Gitar? Aku cuma bisa genjreng ‘Abang Tukang Bakso’, Mron.”
“Mulai dari situ juga cukup, Lik. Yang penting, otakmu sibuk. Atau olahraga, lari pagi, push-up, apa aja yang bikin keringet. Judi kan bikin adrenalinmu naik turun, nah, kita ganti sama aktivitas yang memacu adrenalin tapi nggak bikin kantong bolong. Kayak naik sepeda cepet, atau lompat-lompat di trampolin kalo ada duit lebih.”
“Trampolin? Aku takut jatuh, Mron.”
“Lebih takut jatuh ke utang lagi apa ke trampolin? Pilih, Lik!” tegas Imron.
Lepas dari jerat kecanduan bukanlah hal mudah, dan Malik melakukannya dengan baik serta komitmen yang tinggi. Perubahan Malik begitu nyata hingga Imron hampir tak percaya. Bangga padanya. Wajahnya tak lagi penuh kecemasan. Tak ada lagi panggilan ancaman. Imron lega.
Tapi kemudian, Malik menatap Imron dengan senyum licik. “Mron, aku udah jujur ke kamu soal kecanduan judi. Sekarang giliran kamu jujur.”
“Hah? Aku jujur apa?”
“Aku tahu kamu juga kecanduan sesuatu.”
“Aku? Enggak lah! Aku nggak main judi!”
Malik menyipitkan mata. “Bukan judi. Tapi film dewasa. Aku sering liat tab browser-mu kalau lagi minjem laptop. Ngaku aja, Mron.”
Imron terdiam. Tenggorokannya kering. Kali ini, dia yang harus cari cara keluar dari lingkaran setan sendiri.
#KontrakanImron