Imron Rivaldi tertegun di depan layar laptopnya. Video YouTube yang ia tonton menampilkan pidato perpisahan seorang murid SMA asal Indonesia di Amerika Serikat, Bryan Sukidi, dari Milton Academy, Massachusetts.
Dalam pidatonya, Bryan membahas sesuatu yang selama ini tak pernah terpikirkan oleh Imron: pentingnya bertanya untuk benar-benar mengenal seseorang.
“Aku mencintai orang tuaku lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, meskipun aku putra mereka, aku tidak dapat dengan yakin mengatakan bahwa aku mengenal mereka,” kata Bryan dalam bahasa Inggris, suaranya mantap penuh keyakinan.
Imron terus mendengarkan sambil berkejaran melirik subtitle di layar. Ia berusaha tetap tenang, meskipun dalam hati merasa seperti baru saja ditampar oleh kenyataan yang pahit. Kenyataan yang selama ini tak pernah benar-benar ia pikirkan.
Pidato itu ditutup dengan sebuah kalimat yang menghujam:
“Untuk bisa melihat keindahan orang-orang di sekitarmu, kamu harus berani bertanya. Jadilah orang yang bertanya, yang mendengarkan, dan yang melalui rasa ingin tahunya, tidak meninggalkan cerita yang belum terungkap.”
Berani bertanya. Tidak meninggalkan cerita yang belum terungkap, ya hmm. Kata Imron dalam hati. Ia terdiam lama setelah video itu selesai. Ia berpikir bahwa dunia yang kita diami saat ini dipenuhi dengan jawaban, bahkan sebelum kita sempat merumuskan pertanyaan. Di tengah derasnya arus informasi yang mengalir setiap hari, kita tak perlu repot-repot bertanya kepada orang lain.
Apa pun yang ingin Imron ketahui, tinggal buka Google, ChatGPT, atau TikTok. Cara membuat seblak Rafael? Ada. Membuat artikel tentang betapa buruknya anime Boruto? Bisa sekali. Bahkan, jika Imron gabut, ia bisa mencari-cari teori konspirasi tentang kenapa Adolf Hitler dimakamkan di Garut.
Namun, ada sesuatu yang jauh lebih mengganggu pikirannya. Perkataan Bryan terus terngiang: seorang anak biasanya tidak otomatis mengenal orangtua mereka. Terutama, kata Imron, ayahnya sendiri. Ia menyadari bahwa ia merasa lebih mengenal Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar, teman kosnya, secara detail dan spesifik, dibandingkan ayah kandungnya sendiri.
Ini adalah kenyataan yang membingungkan. Hampir 20 tahun Imron membangun komunikasi dengan ayahnya, tapi tetap merasa tidak mengenal dia sebagai manusia. Tapi kenapa bisa Imron mengenal kedua temannya itu lebih mendalam daripada kepada ayah kandungnya sendiri?
Sosok yang seharusnya paling dekat, yang telah memberi Imron nama, yang menyelimutinya saat kecil, kini terasa seperti siluet samar dalam hidupnya. Ayahnya mungkin mengenal setiap perubahan kecil dalam dirinya, tahu kapan ia sedang bahagia atau menahan tangis; tetapi sebaliknya, Imron seperti asing di hadapan pria yang telah membesarkannya.
Pernah suatu kali, Imron menemukan sebuah video di TikTok yang cukup relevan. Video itu menyebutkan bahwa seorang ayah, sebelum menjadi sosok yang penuh tanggung jawab, pernah menjadi anak kecil yang memiliki imajinasi liar, remaja yang penuh gejolak, dan pemuda yang melewati badai kehidupan dengan kegamangan.
Seorang anak mungkin mengira ayahnya lahir dengan kebijaksanaan dan kedewasaan secara langsung; padahal ia juga pernah tersesat, terluka, dan jatuh berkali-kali sebelum akhirnya berdiri kokoh seperti sekarang. Dan di situlah letak kepedihan Imron: ia tidak tahu seperti apa perjalanan hidup ayahnya sebelum menjadi ‘Ayah’.
Imron tahu bahwa nama ayahnya adalah Bapak Engkos Sanusi. Ia tahu bahwa ayahnya bekerja keras membiayai dirinya dan adiknya. Tapi, lebih dari itu? Apa impian ayahnya sejak kecil? Apakah ayahnya pernah jatuh cinta sebelum bertemu ibunya? Apa ketakutan terbesar ayah? Mengapa ia begitu menyukai Real Madrid? Semua pertanyaan itu seperti lubang hitam yang tak pernah ia isi dengan jawaban.
Selama ini, obrolan Imron dengan orang tua selalu berkisar pada dirinya dan adiknya. Ayahnya hanya bertanya tentang kuliahnya, kesibukannya, nilai-nilainya. Namun, tentang dirinya sendiri, ayah selalu sunyi.
Sementara itu ibunya lebih luwes, terbuka dalam bercerita. Ia bisa secara cerewet menceritakan cinta pertamanya saat musyawarah cabang di IPM, alasan mengapa ibu begitu menyukai sinetron Ikatan Cinta, dan kenapa ia begitu mengidolakan Lesti Kejora.
Tapi ayah? Paling mentok, ayah hanya berbicara tentang perjuangan para nabi dan rasul, sesekali menyebut KH Ahmad Dahlan. Selebihnya, tidak ada. Ayah tidak pernah menjadi pusat percakapan. Tidak pernah menjadi tema utama dalam cerita yang Imron dengar setiap hari.
Di zaman di mana informasi begitu berhamburan, ternyata tidak ada mesin pencari yang bisa memberinya jawaban tentang teka-teki kehidupan ayahnya sendiri. Tidak ada algoritma yang bisa memberitahunya apa cita-cita ayahnya sewaktu kecil. Tidak ada chatbot yang bisa menjelaskan perasaan ayahnya saat pertama kali menjadi seorang bapak.
Satu-satunya jawaban ialah bertanya secara langsung. Imron akan menjadi tim pencari fakta.
Sebelum mewawancarai ayahnya, Imron menoleh ke arah Malik dan Nuriel, yang sedang asyik bermain PES di laptop.
“Lik, kamu tahu nggak apa cita-cita ayahmu sewaktu kecil?” tanyanya tiba-tiba.
Malik menoleh dengan ekspresi bingung. “Lah, pertanyaan macam apa itu?”
Imron termenung sejenak. Ia mengatakan bahwa betapa mudahnya kita tahu hal-hal sepele, dari kebiasaan Keluarga Halilintar, teori-teori Abad Kekosongan di One Piece, rekor gol Cristiano Ronaldo, bahkan tahu informasi banyak tentang alasan di balik misteri kenapa Nia Ramadhani tak bisa mengupas salak.
Namun, di balik semua informasi itu, ada satu hal mendasar yang justru kosong dalam ingatan. Imron kemudian bertanya ke kedua karibnya itu, “Sosok ayah kalian kayak gimana sih?”
Nuriel yang sejak tadi diam akhirnya menimpali. “Iya juga, ya. Aku cuma tahu ayahku kerja di bengkel dan suka kopi hitam. Nggak pernah ngobrol soal hal lain. Kalau dia pengen tahu kabarku di rantau, yang nelpon pasti Ibu.”
“Sama. Ayahku juga gitu. Paling cuma nitip pesan lewat Ibu, ‘Jangan lupa salat, jangan lupa makan’. Udah, gitu doang,” tambah Malik.
Mereka bertiga terdiam. Untuk pertama kalinya, mereka menyadari bahwa di balik semua obrolan sehari-hari, ada begitu banyak cerita yang belum mereka tanyakan kepada orang-orang yang mereka cintai. Mungkin, sudah waktunya untuk mulai bertanya kepada ayah masing-masing. Sebelum terlambat.
Imron yang pertama mengambil langkah. Ia menatap layar ponselnya, ragu sejenak, lalu menekan kontak dengan nama: “Nomer Paling Baru Ayah Telkomsel”. Ini sesuatu yang jarang ia lakukan. Terakhir kali mereka berbicara lewat telepon adalah ketika ayahnya meminta bantuan membetulkan saluran program TVOne yang sempat hilang.
“Assalamualaikum, Ayah!”
“Waalaikumsalam, Mron,” jawab ayahnya, datar seperti biasa.
“Gimana kabarnya?” ini pertama kalinya dalam sejarah Imron nanya kabar ayahnya.
“Baik, alhamdulilah,” jawab ayahnya, singkat.
Imron menarik napas. Ia berusaha menguatkan dirinya untuk bertanya sesuatu yang sangat sangat personal. “Yah, dulu waktu kecil cita-cita Ayah apa?”
“Maaf, Nak, laki-laki tidak bercerita…”
#KontrakanImron