MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Mukhlis Rahmanto, menanggapi pernyataan kontroversial yang sedang viral di masyarakat. Tanggapan tersebut ia sampaikan dalam acara Tarjih Menjawab pada Jumat (07/03).
Pernyataan kontroversial itu menyebut bahwa menyebut ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah, lebih haram dibandingkan perbankan konvensional. Ada tiga alasan dari klaim ini: pertama, bank syariah tetap mengandung riba yang diharamkan; kedua, bank syariah menghalalkan sesuatu yang haram dengan istilah-istilah Islam; dan ketiga, bank syariah memperjualbelikan agama (komodifikasi agama).
Menanggapi hal ini, Mukhlis dengan tegas menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidak tepat dan mengabaikan peran ulama serta cendekiawan Muslim dalam membangun sistem ekonomi syariah di Indonesia.
Mukhlis menjelaskan bahwa bank syariah lahir dari usaha para ulama dan ekonom Muslim pada 1990-an. “Bank syariah, seperti Bank Muamalat yang berdiri pertama kali, adalah inisiatif umat Islam untuk menciptakan alternatif ekonomi sesuai prinsip syariah, bukan dorongan pemerintah semata,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tuduhan bank syariah tidak sesuai syariat justru menafikan jasa para ulama yang telah berjuang menyediakan solusi halal bagi umat.
Mengenai isu riba, Mukhlis menegaskan bahwa bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip jual beli, bukan utang-piutang seperti bank konvensional. Ia mencontohkan akad murabahah, di mana bank membeli barang (misalnya mobil) untuk nasabah, lalu menjualnya kembali dengan keuntungan yang disepakati bersama.
“Riba itu pertukaran uang dengan uang plus bunga, sedangkan jual beli syariah melibatkan barang atau jasa riil,” katanya. Ia juga menyinggung akad wakalah, di mana nasabah bisa diwakilkan untuk membeli barang, yang sah dalam fikih muamalat meski beberapa pihak mempersoalkannya sebagai “sekadar pinjaman terselubung.”
Untuk menjamin kesesuaian dengan syariat, Mukhlis menyoroti peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) di setiap bank syariah, yang terdiri dari ulama ahli fikih muamalat dan bersertifikasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. “
Setiap transaksi, dari tabungan hingga investasi, diawasi DPS berdasarkan fatwa DSN yang diadopsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jadi, label syariah bukan sekadar modus pemasaran, tetapi ada konsekuensi hukum syariat yang ketat,” tegasnya.
Mukhlis juga menyinggung perkembangan ekonomi syariah di era digital, seperti fintech syariah yang menjadi perantara antara pemilik modal dan pelaku usaha. Ia mencontohkan investasi syariah untuk proyek riil, seperti pembangunan perumahan, yang memberikan imbal hasil berbasis bagi hasil, bukan bunga.
Namun, ia mengingatkan masyarakat untuk mewaspadai investasi bodong dengan mengecek legalitas di OJK dan memahami literasi keuangan syariah agar terhindar dari penipuan.
Menjawab pertanyaan tentang anjuran menabung versus sedekah dalam Islam, Mukhlis menjelaskan bahwa Rasulullah SAW memberikan teladan sesuai kondisi umat. “Nabi mengajarkan investasi saat berdagang dengan modal Khadijah, tetapi juga bersedekah saat berlebih. Jual beli kredit pun diperbolehkan saat Nabi membeli makanan dari pedagang Yahudi tanpa uang tunai,” katanya.
Mukhlis menegaskan bahwa ekonomi syariah mendorong perputaran barang dan jasa riil, bukan sekadar akumulasi uang, sehingga mendukung keadilan dan menghindari kezaliman riba.