MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhamad Rofiq Muzakkir, menyampaikan pandangannya mengenai metode ideal memahami nash yaitu Al-Qur’an dan Hadis serta kemungkinan konflik antara wahyu dan akal.
Presentasi yang disampaikan dalam acara Pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Senin (03/03) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini menjadi bagian dari upaya Muhammadiyah untuk terus mengembangkan manhaj pemikiran keislaman yang relevan dengan dinamika zaman.
Dalam pemaparannya, Rofiq menegaskan bahwa metode ideal memahami nash bukanlah hal asing dalam dinamika gerakan Muhammadiyah. “Alhamdulillah kita sudah punya Manhaj Tarjih, dan Manhaj Tarjih ini sudah menjadi materi pokok yang dibicarakan dari satu pelatihan ke pelatihan yang lain untuk memahami Al-Qur’an dan Sunah,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam Manhaj Tarjih, langkah awal memahami nash adalah mengumpulkan semua nash secara kolektif, baik dari Al-Qur’an maupun Hadis, untuk kemudian diinterpretasi secara menyeluruh. Setelah itu, dibuatlah jenjang pemahaman yang mencakup nilai-nilai dasar, kaidah-kaidah pokok, dan hukum-hukum konkret.
Rofiq menambahkan bahwa memahami nash juga memerlukan perangkat keilmuan spesifik, yakni teori hukum Islam atau ushul fiqh. “Untuk membaca Al-Qur’an dan Hadis serta menderivasi hukum, oh, enggak bisa sembarangan, harus ada perangkat keilmuannya,” tegasnya.
Namun, ia mengingatkan agar pendekatan ini tidak dibuat terlalu rumit atau “fancy” sehingga menimbulkan ketakutan untuk mendekati Al-Qur’an. “Al-Qur’an sebagai kitab hidayah, sebagai hudan linnas, is approachable by everyone, bisa didekati dan dibaca oleh siapa pun. Tapi sebagai sumber hukum, sumber pengetahuan yang konkret, Al-Qur’an membutuhkan satu perangkat keilmuan, dan tidak semua orang mempelajarinya. Itu disiplin yang disebut ilmu ushul fiqh,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa dalam Manhaj Tarjih, Muhammadiyah telah memiliki metode Bayani, Burhani, dan Irfani. “And we are done with it, jadi kita anggap cukup diskusi tentang itu. Saya tidak akan merepetisinya, tadi saya cuma mereview-nya,” ujar Rofiq, seraya mengajak audiens untuk membuka lembaran baru dalam berpikir tentang nash.
Kemungkinan Konflik antara Wahyu dan Akal
Rofiq kemudian mengarahkan pembicaraan pada isu yang menurutnya relatif belum banyak dibahas dalam diskusi internal Muhammadiyah, yaitu kemungkinan konflik antara wahyu di satu sisi dan akal di sisi lain.
“Bagaimana kita mencari jalan keluar, way out, dan untuk contoh konkretnya barangkali saya sebutkan di belakang. Tapi saya mulai dulu dengan memaparkan spektrum pemikiran keislaman ketika berhadapan dengan situasi konfliktif antara nash di satu sisi dan akal di sisi yang lain,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa akal dapat diterjemahkan sebagai penalaran, sains, atau empirisme. “Ketika terjadi benturan antara pengetahuan yang datang dari wahyu dan pengetahuan yang berasal dari empirisme, what we are going to do, kira-kira itu,” ungkapnya.
Dalam spektrum pemikiran keislaman, Rofiq menyebutkan berbagai alternatif pemikiran, mulai dari yang liberal hingga yang lebih ketat.
Sebagai contoh, ia mengulas gagasan filsuf Islam Ibnu Rusyd (Averroes), yang menulis buku-buku seperti Fashl Al-Maqal Fima Baina Al-Hikmah wa Asy-Syari’ah min Al-Ittishal, Manahij al-Adillah fi ‘Aqaid al-Millah, serta I’tiqad Masyasyin wa al-Mutakallimin. Menurut Ibnu Rusyd, wahyu dan akal tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari Tuhan.
“Bagi dia (Ibn Rusyd), wahyu itu berasal dari Tuhan, dan pengetahuan, baik yang sifatnya penalaran atau empirisme, juga berasal dari Tuhan. Keduanya tidak mungkin konfliktif,” jelas Rofiq. Namun, Ibnu Rusyd mengakui adanya potensi konflik jika pemahaman terhadap sains atau wahyu tidak benar.
Solusi yang ditawarkan Ibnu Rusyd adalah mengklasifikasikan manusia menjadi dua kelompok: al-jumhur (orang awam) dan al-ulama (para filsuf). Bagi Ibnu Rusyd, jika Al-Qur’an bertentangan dengan akal para filsuf, yang benar adalah akal para filsuf, karena Al-Qur’an diturunkan untuk orang awam, sedangkan kebenaran sejati ada pada filsuf.
Pandangan ini, menurut Rofiq, juga sejalan dengan Ibnu Sina (Avicenna) yang menyatakan bahwa syariat ditujukan untuk orang awam. “Ini mungkin something yang kita enggak pernah tahu. Kita selama ini mengglorifikasi Ibnu Rusyd, tapi ada sisi kontroversial yang hari ini kita mungkin menganggapnya tidak masuk ranah ortodoksi,” ungkapnya.
Ia mencontohkan pernyataan kontroversial Ibnu Sina yang membenarkan konsumsi alkohol dengan alasan dirinya berada di atas hukum syariat.
Untuk memberikan contoh konkret, Rofiq membahas isu eternitas alam semesta. Menurut Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, alam semesta bersifat qadim (abadi) dan tidak memiliki awal, sebagai konsekuensi logis dari keberadaan Allah. “Makna ‘tidak diciptakan’ adalah ketika Allah ada, alam ada. Itu terpengaruh dari kausalitas hukum sebab-akibat dalam fisika,” jelasnya.
Pandangan ini bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta dengan Kun Fayakun. Namun, para filsuf menyarankan agar ayat-ayat tersebut ditakwilkan, karena kebenaran sejati menurut mereka ada pada akal filsuf, bukan pada pemahaman literal Al-Qur’an.
Pandangan ini memicu respons keras dari Al-Ghazali, yang dalam Tahafut al-Falasifah mengkafirkan para filsuf seperti Ibnu Sina karena keyakinan mereka bahwa alam semesta tidak memiliki awal. “No, no, no, kata Al-Ghazali. Kalau Al-Qur’an bilang Kun Fayakun, it’s clear. Allah itu menciptakan sesuatu, creation ex nihilo, menciptakan sesuatu dari ketiadaan,” tegas Rofiq.
Rofiq kemudian beralih pada pandangan Fakhr ar-Din Al-Razi. Dalam bukunya Asas al-Taqdis, Al-Razi menyatakan bahwa jika terjadi konflik antara wahyu dan akal, akal harus didahulukan karena nash bisa bersifat zanni (tidak pasti). “Akal selalu superior,” kata Rofiq mengutip Al-Razi.
Namun, pendekatan berbeda ditawarkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Daru Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql. Ibnu Taimiyah menolak kemungkinan konflik antara akal dan nash dengan membagi keduanya menjadi qat’i (pasti) dan zanni (tidak pasti).
“Kata Ibnu Taimiyah, akal yang qat’i dan nash yang qat’i tidak mungkin bertabrakan. Tapi kalau akal yang qat’i bertemu dengan nash yang zanni, yang dimenangkan adalah yang qat’i,” jelas Rofiq. Ia menambahkan bahwa jika keduanya sama-sama zanni, maka diperlukan tarjih untuk menentukan yang lebih kuat.
Secara pribadi, Rofiq mengaku lebih condong pada manhaj Ibnu Taimiyah. “Pada prinsipnya, kita harus membagi antara yang qat’i dan tidak qat’i. Yang didahulukan selalu adalah yang qat’i,” katanya.
Penerapan pada Isu Kontemporer
Rofiq juga menyentuh penerapan pendekatan ini pada isu kontemporer seperti LGBT dan konsumsi kencing unta. Ia menyebutkan bahwa jurnal ilmiah di Barat kini mengklaim bahwa LGBT adalah bawaan sejak lahir, bukan disorientasi seksual, yang bertentangan dengan kisah Nabi Luth dalam Al-Qur’an.
“Kalau kita ambil paradigma Al-Razi, kita akan bilang, ‘Oh, lihat data empiriknya.’ Tapi kalau pakai paradigma Ibnu Taimiyah, kita tanya mana yang qat’i,” ujarnya.
Begitu pula dengan hadis tentang kencing unta, yang secara empirik dianggap menjijikkan. “Bagaimana kita merekonsiliasinya? Again, back to theory: mana yang qat’i, mana yang zanni,” tambahnya.
Rofiq kemudian menegaskan bahwa dimensi ini masih relatif belum banyak dibahas di ruang publik Muhammadiyah. “Ini isu yang perlu kita address dalam Manhaj pemikiran keislaman Muhammadiyah atau Manhaj Tarjih,” katanya.