MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhamad Rofiq Muzakkir, menyampaikan pandangannya mengenai cara berinteraksi dengan turats atau tradisi intelektual Islam. Pandangannya ia sampaikan dalam acara Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah pada Senin (03/03) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dalam presentasinya, Rofiq memetakan tiga paradigma utama dalam memahami warisan intelektual Islam, yang ia sederhanakan sebagai “kitab kuning,” serta mengusulkan pendekatan wasathiyah (moderat) sebagai solusi ideal.
Rofiq memulai dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan tradisi intelektual Islam. “Tradisi intelektual itu apa sih? Apa itu? Sederhananya gini, kitab kuning, to make it easy, kitab kuning,” ujarnya. Ia kemudian memaparkan tiga paradigma utama dalam memahami tradisi ini.
Tiga Paradigma Memahamai Turats
Paradigma pertama, menurut Rofiq, adalah pandangan bahwa segala yang datang dari masa lalu sudah cukup dan merupakan kebenaran mutlak. Ia merujuk pada karya Muhammad Said Ramadhan al-Buthi yang berjudul Al-La Mazhabiyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syariah al-Islamiyah.
“Tidak bermazhab itu dia bilang bahaya, bid’ah paling tinggi, bid’ah paling bahaya yang mengancam syariat Islam, dia bilang gitu. Pokoknya apa yang dikatakan mazhab fikih masa lalu, that’s it, itu kebenarannya,” paparnya.
Rofiq mengaku terkejut dengan pandangan ini, terutama setelah mengingat sebuah pertanyaan dalam seminar yang pernah ia ikuti sebagai panelis. “Ada yang bertanya, ‘Syekh, bagaimana ya, kalau kita menjumpai qaul ulama zaman dulu, tapi bagi kita itu salah, boleh enggak kita berbeda pendapat?’ Wah, orang Muhammadiyah sudah selesai soal itu,” katanya, menyinggung pendekatan Muhammadiyah yang tidak taklid pada masa lalu.
Sebagai contoh, ia menyebut pandangan dalam fikih klasik tentang periode hamil paling lama. “Ada cerita-cerita mythcal, cerita tentang Imam Syafi’i atau Imam Malik yang dikandung ibunya dua tahun. Jadi dalam fikih Islam, perempuan bisa mengandung dalam periode waktu dua tahun,” ungkapnya.
Rofiq kemudian menceritakan pengalamannya mengonfirmasi hal ini kepada seorang ahli. “Saya konfrontasi dulu, cerita ini gimana, Pak? Dia bilang. ‘Enggak mungkin itu terjadi, itu bertentangan dengan akal, bertentangan dengan pengetahuan.’ Jadi apa yang ditulis pada kitab-kitab kuning itu, kalau enggak sesuai dengan sains, enggak sesuai dengan perkembangan pengetahuan, say goodbye, gitu. That’s enough, gitu aja,” tegasnya.
Rofiq menilai paradigma ini, yang ia sebut mabni’un ‘ala al-sukun (berbasis pada stagnasi), kurang relevan di masa kini.
Paradigma ini juga dilakukan oleh cendekiawan muslim seperti Shahab Ahmad dalam bukunya What is Islam. Walaupun paradigmanya sama seperti Al-Bouti, yaitu setia pada tradisi intelektual masa lalu, namun Shahab Ahmad cenderung merayakan keragaman pandangan di masa lalu sebagai justifikasi untuk melakukan hal-hal yang berada di luar ortodoksi Islam.
“Bagi dia, kitab kuning, tradisi masa lalu itu penting, tapi dia merayakan kekayaan gagasan masa lalu sampai pada tahap apapun yang diucapkan di masa lalu oleh para ulama klasik, maka kita rayakan, bahkan ketika bertentangan dengan normativitas, bertentangan dengan syariah,” jelas Rofiq.
Ia menyebut bahwa Shahab Ahmad bahkan mempraktikkan hal ini dengan minum wine, dengan alasan bahwa tokoh seperti Ibnu Sina, Abu Zaid al-Balkhi, dan Nasiruddin juga melakukannya. “Jadi rayakan keragaman pendapat itu,” tambahnya.
Menurut Rofiq, pendekatan postmodernistik ini juga tidak sehat karena terlalu longgar dan tidak selektif.
Paradigma kedua diwakili oleh tokoh seperti Jasser Auda, yang menurut Rofiq tidak mempercayai tradisi intelektual masa lalu. “Bagi dia, ulama-ulama yang hidup di masa lalu itu berada dalam kontrol kekuasaan, sehingga enggak bebas berbicara tentang pengetahuan,” katanya.
Jasser Auda, menurut Rofiq, bahkan mengabaikan ilmu jarh wa ta’dil (kritik sanad dan matan hadis). Sebagai contoh konkret, Rofiq menyebut revisi usia pernikahan Aisyah RA.
“Dalam hadis-hadis yang secara tradisional kita yakini, Aisyah itu menikah di usia 6 atau 7 tahun dan tinggal serumah dengan Nabi pada usia 9 tahun. Kemudian muncul para penolak atau tokoh revisionis yang bilang, ‘Enggak benar itu 6 atau 7 tahun, yang benar adalah 17 apa 19 tahun gitu.’ Bagaimana dengan hadis ini? Sanadnya jelas, matannya jelas. ‘No, no, no,’ kata mereka. Para perawi itu orang-orang yang hidup dalam situasi politik yang ingin pleasing, ingin menyenangkan para elit Umayyah, elit Abbasiyah, sehingga melegalkan pernikahan anak,” paparnya.
Rofiq menilai pendekatan ini juga tidak ideal karena tidak menghargai warisan masa lalu.
Paradigma Wasathiyah sebagai Solusi
Rofiq kemudian mengusulkan paradigma ketiga yaitu pendekatan wasathiyah sebagai cara ideal berinteraksi dengan tradisi intelektual Islam. Menurutnya, letak wasathiyah ada pada tiga hal.
Pertama, karena tradisi intelektual Islam begitu kaya. “Mazhab fikih yang survive aja ada empat, dan masing-masing memproduksi kitab yang sangat banyak. Islamic civilization is civilization of book, Islam itu adalah peradaban buku,” katanya.
Namun, ia menyayangkan bahwa kitab-kitab kuning kini jarang dibaca dan tidak lagi digunakan dalam pengajaran ilmu sosial-humaniora. “Saya prihatin seprihatinnya. Prodi Ilmu Pemerintahan, Hubungan Internasional, kok enggak bicara tentang Kitabul Imamah. Tradisi intelektual itu kaya sekali, menyediakan bangunan ilmu yang kokoh, mapan,” ungkapnya.
Rofiq menyebut tokoh seperti Asy-Syaibani banyak menulis topik politik dan kepemimpinan, namun karya-karya ini tidak masuk dalam diskursus akademik Muhammadiyah.
Kedua, tradisi intelektual berfungsi sebagai simbol legitimasi dan otoritas. “Kalau Bapak Ibu ceramah, ngomong di depan kaum santri, bawa kitab kuning, baca kitab kuning, dan solve the case gitu, otoritatif, legitimatif gitu,” katanya.
Rofiq mencontohkan tokoh Amerika, Sherman Jackson, seorang Muslim kulit hitam yang mengalami diskriminasi dan kebingungan identitas beragama. “Akhirnya, kata Sherman Jackson, ‘Udahlah, daripada berislam cuman ikut-ikutan kultur atau budaya orang lain, lebih baik berislam dengan cara memahami Islam dari tradisi intelektualnya, pahami Islam dari usul fikihnya, pahami Islam dari kitab kuningnya.’ Itulah cara kita berislam menjadi otoritatif,” jelas Rofiq.
Ketiga, tradisi intelektual penting karena merupakan akumulasi pengetahuan selama berabad-abad. “Kalau kita dalam tradisi riset, kan kita harus berpijak pada pengetahuan sebelumnya gitu. Yang membedakan manusia dengan non-manusia adalah pengetahuan kita itu diakumulasikan terus,” ujarnya.
Rofiq membandingkan dengan burung, yang tidak memiliki akumulasi pengetahuan seperti manusia. “Burung yang hidup di zaman Nabi Sulaiman sama burung yang di zaman sekarang, sangkarnya, sarangnya sama. Bedanya apa? Karena pengetahuan burung enggak bisa berakumulasi. Beda dengan manusia, pengetahuannya berakumulasi, dan pengetahuan dalam peradaban Islam itu sudah berakumulasi selama 1.400 tahun. Tapi kita abaikan, kita mengalami amnesia intelektual,” tegasnya.
Rofiq menutup presentasinya dengan merangkum ciri wasathiyah. “Wasathiyah itu dicirikan oleh kemampuan memahami nash secara proporsional, kemampuan memahami tradisi intelektual Islam masa lalu secara proporsional, dan kemampuan memahami produksi pengetahuan di zaman modern juga proporsional,” katanya.