Imron Rivaldi tidak pernah menyangka hidupnya bakal berubah gara-gara sebuah buku. Nama bukunya itu Fikih Zakat Kontemporer. Ia menemukan PDFnya setelah Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkannya secara formal sebagai hasil Musyawarah Nasional Tarjih 2020.
Awalnya, Imron cuma iseng membukanya sambil nunggu hujan reda, tapi siapa sangka, halaman demi halaman yang ia lahap malah mengguncang cara pandangnya tentang dunia.
Ketika Imron membaca Fikih Zakat Kontemporer itu, Imron mulai bertanya-tanya: benarkah semua yang mapan adalah musuh? Apakah semua kekayaan harus dicurigai sebagai alat penindasan?
Dulu, waktu masih jadi mahasiswa semester awal, Imron adalah anak muda yang terbakar semangat gerakan “kidal” alias pemikiran kiri. Ia rajin menyantap buku-buku progresif yang jadi makanan intelektual para aktivis kampus: Das Kapital karya Karl Marx, Materialisme Historis yang bikin kepala pening, sampai Madilog karya Tan Malaka yang katanya membukakan cakrawala.
Imron memang bukan tipe yang paham betul setiap detailnya, tapi ia tekun membaca, pura-pura mengangguk bijaksana saat diskusi, dan sesekali melempar istilah-istilah cerdas seperti “alienasi” atau “proletariat” biar terlihat keren.
Hidup Imron waktu itu penuh warna utopia. Ia terhanyut dalam mimpi-mimpi kiri, terpana sama visi Marx tentang dunia tanpa kelas, keadilan sosial sama rata sama rasa yang membius imajinasinya, dan kekaguman pada Pak Marhaen yang ia anggap pahlawan lokal dengan kisah heroik nan memesona.
Imron anti kemapanan, membenci segala yang berbau “mapan” karena baginya itu adalah simbol penindasan. Baginya, kaum tertindas harus terus melawan, sebagaimana Minke dalam Bumi Manusia yang menolak tunduk pada feodalisme pribumi dan kolonialisme Belanda.
Penampilan Imron pun mendukung peran revolusionernya. Kaos bergambar Che Guevara jadi seragam wajibnya, dipadukan dengan celana jins sobek yang sengaja tak dicuci biar kelihatan rebel. Tiap kali ada yang protes karena bau yang menyengat, ia selalu berkilah, “Ini adalah aroma revolusi, Kamerad!”
Di kosannya, lagu Darah Juang dan Internasionale diputar berulang-ulang. Imron merasa risih jika yang ada yang memutar lagu-lagu melankolis. Baginya, melodi seperti itu cengeng, melemahkan jiwa perjuangan, dan mencairkan semangat baja seorang revolusioner.
Imron juga punya hobi khas anak muda progresif: naik gunung sambil membawa buku catatan kecil. Di puncak, sambil menatap hamparan kabut, ia menulis puisi atau renungan ala ala Soe Hok Gie. Turun dari gunung, berubah jadi filsuf dadakan. Dengan rambut acak-acakan dan jaket lusuh, ia berkata pada siapa saja yang mau mendengar, “Hidup adalah penderitaan!”
Imron bangga dengan pemikiran kiri yang pro terhadap kaum miskin. Ia merasa jadi bagian dari sesuatu yang mulia, membela yang tertindas, dan melawan ketidakadilan. Kalau unggah foto di instagram harus dengan pose tangan terkepal disertai caption galak dan bertenaga: “Abadi perlawanan!”
Tapi, lama-lama ada yang mengganjal di hati Imron. Semangat membela kaum miskin yang ia junjung tinggi selalu dibarengi kebencian membabi buta pada orang kaya. Narasi itu mulai terasa janggal.
Imron tahu sejarah pemikiran kiri lahir sebagai respons terhadap industrialisasi di Eropa, wajar kalau pemilik modal jadi musuh bebuyutan. Tapi, baginya, itu tak lagi cukup.
“Bukankah membenci satu kelompok demi membela kelompok lain justru menciptakan kebencian baru?” gumam Imron suatu malam, sambil menatap plafon kosan yang penuh sarang laba-laba.
Selama ini, Imron dan kawan-kawannya lantang mengutuk kapitalisme dalam diskusi kampus. Sistem disalahkan, perlawanan diserukan. Tapi, saat ditanya solusi konkret selain revolusi yang entah kapan datang, mereka diam seribu bahasa. Imron mulai sadar, kemiskinan yang mereka jadikan bahan bakar ideologi tak pernah benar-benar disentuh solusi praktisnya.
Pemikiran kiri memang penting. Ia telah membuka cakrawala Imron tentang realitas ketimpangan sosial dan perlunya pembelaan terhadap kaum tertindas. Namun, semakin dalam ia menyelami gagasan-gagasan ini, semakin ia merasa ada yang kurang. Wacana perlawanan memang membakar semangat, tetapi tanpa strategi yang terorganisir, perjuangan itu sering kali berakhir dalam retorika belaka.
Imron belum menemukan jawaban sampai Fikih Zakat Kontemporer itu muncul. Ia mengira pembelaan terhadap kaum miskin hanya milik narasi kaum kidal. Ternyata Muhammadiyah juga punya cara sendiri membela kaum miskin dengan cara terorganisir dari tuntunan keagamaan hingga solusi praktis di lapangan.
Buku yang lahir dari para ulama Muhammadiyah itu seperti tamparan halus yang membukakan mata Imron. Zakat, ternyata, bukan sekadar filantropi atau belas kasihan. Ini adalah instrumen ekonomi dalam Islam yang dirancang untuk mendistribusikan kekayaan secara adil.
Zakat merupakan salah satu bentuk ibadah sosial yang berusaha mengentaskan kemiskinan umat. Dengan zakat, Islam telah menunjukkan semangat sosial dan perlindungan antara mereka yang kaya untuk memperhatikan mereka yang miskin sehingga tidak adanya ketimpangan sosial.
Hal ini juga mengisyaratkan agar umat Islam menjadi manusia kaya dalam sebuah ekuilibrium yang proporsional. Tidak sampai tenggelam dalam bianglala kehidupan yang penuh pesona duniawi, sebab ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin.
Dari situ, Imron belajar soal keadilan distributif-terkoreksi dalam Islam. Al-Qur’an, lewat ayat-ayat seperti QS. Adz-Dzariyat ayat 19 atau QS. At-Taubah ayat 34-35, menegaskan bahwa dalam harta yang kita miliki, atau lebih tepatnya yang Allah titipkan kepada kita, ada hak kaum mustadh’afin sebesar 2,5%.
“Mereka bukan cuma fakir miskin biasa, tapi juga korban sistem yang tak adil,” ujar Imron dalam hati.
Yang lebih mengejutkan, dalam buku itu ada peluang bahwa mahasiswa seperti dirinya bisa menjadi penerima zakat. Zakat fitrah memang diprioritaskan untuk fakir dan miskin, tetapi ibnu sabil, termasuk mahasiswa yang kesulitan ekonomi, juga bisa mendapat bagian.
Sepanjang tahun 2023, Lazismu, lembaga zakat milik Muhammadiyah, telah menggelontorkan dana untuk kategori ibnu sabil sebanyak Rp. 46 miliar. Tren ini terus meningkat, mengingat pada tahun sebelumnya jumlahnya sebesar Rp. 30 miliar. Tahun 2025, boleh jadi lebih besar lagi.
Mengetahui hal ini, Imron merasa pikirannya terbuka lebar. Ia segera bergegas pulang ke kos dan mengumpulkan dua teman sekamarnya, Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar. Dengan penuh semangat, ia berkata, “Kamerad, kita harus bertindak cepat!”
“Ada apa, Mron?” kata Malik.
“Bikin revolusi lagi? Ogah!” kata Nuriel.
“Udah, tenang aja, kalau kalian ikuti semua perintahku, bahkan Eropa bisa kita bisa kuasai!”
Tak butuh waktu lama, mereka bertiga sudah sibuk membentangkan spanduk di pagar depan kosan. Tulisan di spanduk itu tebal, jelas, dan lugas:
“KAMI SIAP MENERIMA ZAKAT!”
#KontrakanImron