Imron Rivaldi, Malik Senja Ramadan, dan Nuriel Al-Kautsar sebenarnya tidak pernah berencana untuk begadang. Tapi seperti kebiasaan anak muda zaman sekarang, scroll TikTok tanpa henti jadi candu. Video kucing lucu, mukbang mie instan kuah pedas, hingga orang joget absurd terus menggoda mereka.
Tahu-tahu jam sudah menunjukkan pukul 01.37 WIB dini hari.
Malik menguap sambil berdendang, “Begadang jangan begadang kalau tiada artinyaaa.”
Sebelum ada yang sempat merespons, lantai kamar kos mereka tiba-tiba berguncang. Poster Naruto di dinding jatuh, kipas angin berhenti berputar, dan sebuah lubang bercahaya muncul di tengah ruangan.
Sebelum sempat kabur, mereka bertiga tersedot masuk ke sebuah lorong. Setelah terombang-ambing di lorong waktu penuh kilatan cahaya, mereka terlempar ke suatu tempat yang asing. Ketika membuka mata, mereka kaget.
Imron melihat ada menara bundar besar dengan kubah emas yang memantulkan cahaya bulan. Saluran air mengalir tenang di pinggir jalan-jalan sempit yang terbuat dari batu. Sebagai seorang penggemar buku-buku sejarah, Imron cukup familiar dengan suasana ini. Ia teringat betapa sering membaca kisah-kisah yang menggambarkan kehidupan di masa lalu, terutama peradaban Islam di Baghdad.
Ternyata mereka mendapati diri di sebuah rumah sederhana di Negeri 1001 Malam, Baghdad, Abbasiyah abad ke-8.
Baghdad pada abad ke-8 adalah pusat peradaban dunia. Udara malam di sana terasa sejuk, dan rumah-rumah terbuat dari batu bata tanah liat yang kokoh. Di luar terdengar samar bunyi air mengalir dari saluran irigasi yang mengelilingi kota. Langit bersih dihiasi bintang-bintang terang, tanpa polusi cahaya.
“Baghdad merupakan bintang paling bercahaya di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu,” ujar Imron mengutip buku The Venture of Islam karya Marshal Hodgson.
Ruangan itu hangat, dengan obor kecil menyala di sudut ruangan, menerangi tikar anyaman yang tampak nyaman. Di sana, seorang pria berjubah panjang bernama Abu Nawas sedang bersiap tidur. Setelah salat isya, rutinitasnya sederhana: meniup obor, menarik selimut wol, dan komat kamit membaca doa tidur. Dalam hitungan detik, Abu Nawas sudah mendengkur lembut.
Malik menggaruk kepala. “Zaman dulu tidur gampang banget, ya. Nggak ada urusan scroll-scroll.”
Imron mengangguk, “Iya, lihat tuh. Gak ada notif yang bikin kepo. Khusyuk banget tidurnya.”
Nuriel, sambil mengamati obor yang nyaris padam, ikut berkomentar, “Coba kita hidup di sini, mungkin bangun tahajud lebih gampang. Mungkiiin…”
Karena cukup ribut, Abu Nawas terbangun. Ia tampak sedikit bingung, tapi setelah melihat mereka bertiga, wajahnya melunak. Ia mendekati Imron sambil tersenyum dan menyerahkan sebuah koin dirham kepada Imron. “Kalian terlihat seperti musafir yang kelelahan,” katanya.
Pada masa abad ke-8, dirham menjadi alat tukar utama di Baghdad. Beberapa peneliti menilai bahwa dirham melambangkan kemakmuran ekonomi dan peradaban maju pada saat itu.
Imron menatap dalam-dalam koin itu. Koin emas itu bersinar di bawah cahaya obor, dengan ukiran kaligrafi indah di satu sisi dan gambar mirip burung kecil di sisi lainnya. Ia memegang koin itu, merasa kagum dengan kehalusan detailnya, kemudian memasukkanya ke dalam saku celana. Slup!
Sebelum sempat meresapi suasana, lubang waktu muncul lagi. Mereka terombang-ambing lagi di lorong waktu. Begitu berhenti, Imron melihat sebuah menara jam besar dengan kabut tebal menyelimuti sekitarnya. Sebagai penggemar serial Peaky Blinders di Netflix, ia langsung mengenali lokasi itu.
“Kita di mana lagi nih?” ujar Malik.
“Kayaknya ini Birmingham, atau setidaknya Inggris,” gumam Imron. Kali ini mereka mendarat di sebuah rumah di London awal abad ke-19.
London pada masa itu sibuk dengan Revolusi Industri. Di luar rumah, udara terasa dingin dan lembap, dengan kabut tebal yang membawa aroma asap pabrik. Jalanan gelap diterangi lampu gas di tiang-tiang besi, sementara suara sepatu kuda dan roda kereta terdengar samar.
Mereka bertiga melihat seorang pria bernama Edward, pekerja pabrik, sedang mengagumi lampu bohlam kecil yang baru dipasang di kamarnya. Kamar itu sederhana, dengan dinding kayu tua dan tempat tidur besi. “Luar biasa, bisa terang begini malam-malam,” gumam Edward sambil tersenyum.
Kehadiran lampu bohlam memang menjadi simbol kemajuan teknologi pada masanya. Namun, hal itu juga membuat pekerjaan manusia menjadi lebih panjang dibandingkan masa sebelumnya.
Setelah lampu dimatikan, Edward malah gelisah. Ia bolak-balik di tempat tidur, matanya sulit terpejam meskipun tubuhnya lelah.
“Kasian banget,” kata Malik. “Teknologi mulai bikin ribet tidur.”
Imron menggeleng. “Tapi at least dia nggak kenal TikTok.”
Nuriel terkekeh, “Tunggu aja, kalau ada TikTok, dia nggak bakal cuma bolak-balik. Mungkin malah joget-joget minta disawer kayak Sad Bor.”
Setelah itu, mereka tersedot lagi ke abad ke-21 dan mendarat di sebuah apartemen kecil di Jakarta. Pada abad ke-21, Jakarta adalah kota yang tak pernah tidur. Suara klakson kendaraan masih terdengar di jalanan, bahkan larut malam. Lampu-lampu dari gedung tinggi dan billboard elektronik memancarkan cahaya terang ke segala penjuru. Suara kipas angin dan dering notifikasi ponsel menjadi latar rutin di apartemen kecil itu.
Di sana, seorang pria bernama Moyo Tantular tengah duduk di tempat tidur dengan ponsel di tangan. Cahaya layar menerangi wajahnya yang mulai berminyak. Moyo membuka YouTube, sambil menyantap mie instan, ia tengah asyik menonton petualangan pemegang puncak rantai makanan: Dede Inoen. “Sebelum kita makan, kita endus dulu dari kepala sampai ekor… hmmm mantap nyooo.”
Moyo mematikan lampu kamarnya, tapi bukannya tidur, ia membuka Instagram, lalu TikTok, kemudian lanjut nge-scroll WhatsApp. Ketika akhirnya ia menutup ponsel, jarum jam menunjukkan pukul 03.21 dini hari.
“Parah sih,” kata Nuriel sambil geleng-geleng. “Ini kita banget.”
Tidak jauh berbeda dengan Moyo, setelah salat isya, kebiasaan mereka bertiga pun beragam: Nuriel langsung membuka Mobile Legends, Imron berdebat sengit di Twitter/X, sementara Malik marathon menonton One Piece untuk mengejar episode perang puncak di Onigashima.
Setelah perjalanan lintas waktu yang melelahkan, mereka bertiga kembali ke kamar kos mereka di Yogyakarta. Tubuh mereka penuh debu dan kepala masih terasa pusing, seakan dunia mereka berputar-putar tanpa henti. Ketiganya saling pandang, wajah mereka dipenuhi ekspresi kebingungan yang tak bisa disembunyikan.
“Bro…,” kata Imron pelan, suaranya serak karena kelelahan. “Apa yang baru saja kita alami? Gimana bisa ada lorong waktu kayak gitu? Itu beneran, kan?”
Malik menggeleng-gelengkan kepala, matanya kosong. “Aku juga nggak ngerti. Tadi kita tiba-tiba ada di Baghdad abad ke-8, terus ke London abad ke-19, terus ke Jakarta sekarang… apa ini? Mimpi?”
Tapi dari perjalanan waktu ini mereka mengambil pelajaran.
“Aku nggak nyangka,” kata Imron. “Dari zaman Abu Nawas sampai Moyo, satu hal yang jelas: teknologi bikin tidur manusia makin susah.”
Malik mengangguk kemudian merespon bijak, tidak seperti biasanya, “Kayaknya kita harus mulai berubah. Jauhkan gadget, matikan lampu, dan langsung tidur sebelum tengah malam. Udah dicontohin Nabi kok.”
Malam itu, mereka akhirnya mencoba tidur lebih cepat. Tapi sebelum mematikan lampu, Imron menatap kedua temannya dan berkata, “Besok kita beli lilin aja deh, biar kayak Abu Nawas.”
Respon Malik dan Nuriel hanya ketawa respect.
Pagi harinya, ibu kos menyiram mereka dengan air dingin karena kesiangan.
Imron terbangun dengan kaget, air yang dingin menusuk kulitnya seperti membangunkan dari mimpi panjang. Sambil mengusap wajah, ia mulai merenungkan kejadian semalam. Awalnya, ia berpikir bahwa perjalanan lintas waktu itu hanyalah hasil dari begadang dan terlalu banyak konsumsi konten digital.
Namun ada yang janggal bin aneh, yaitu, ketika Imron merogoh saku celananya, ia mendapati koin dirham pemberian Abu Nawas masih ada di sana. Imron menatap koin itu, merasakan detailnya, kemudian bingung.
“Ini barusan mimpi, atau bukan?”
#KontrakanImron