MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANTUL – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Ghoffar Ismail, dalam ceramahnya di Masjid Jami’ Al Musyawaroh, Bantul, pada Kamis (20/02), menegaskan pentingnya strategi dalam berdakwah sebagaimana diajarkan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Ghoffar menyoroti tiga metode utama dalam menyeru manusia kepada kebaikan: hikmah, mau’izhah hasanah, dan mujadalah.
Dalam pemaparannya, Ghoffar menjelaskan bahwa metode pertama, hikmah, merujuk pada penggunaan ilmu dan strategi yang tepat dalam berdakwah.
“Hikmah itu ilmu dan strategi yang digunakan untuk berdakwah kepada mereka yang memiliki kedudukan, jabatan, atau posisi penting. Mereka perlu dihormati agar dakwah bisa diterima,” jelasnya.
Metode kedua adalah mau’izhah hasanah, yakni memberikan nasihat dengan cara yang baik, yang umumnya diterapkan kepada masyarakat awam.
Sedangkan metode ketiga, mujadalah bi ahsan, adalah bertukar pikiran atau berdebat secara baik dengan mereka yang memiliki ilmu.
“Islam membagi umat ini ke dalam tiga kategori: pemimpin, masyarakat umum, dan kaum intelektual. Masing-masing memiliki pendekatan dakwah yang berbeda,” tambahnya.
Lebih lanjut, Ghoffar mengutip hadis Nabi yang menyatakan bahwa perubahan kemungkaran dapat dilakukan melalui tiga cara: dengan tangan (kekuasaan), lisan (nasihat), atau hati (menolak dalam hati). Ia menekankan bahwa dakwah dengan tangan bukan berarti kekerasan, tetapi menggunakan otoritas dan kebijakan yang dimiliki.
“Islam tidak mengajarkan kekerasan dalam dakwah. Jika memiliki kekuasaan, gunakanlah untuk kebaikan. Seorang mukmin yang berkuasa dapat berdakwah dengan tanda tangan, keputusan, dan kebijakan,” ujarnya.
Bagi yang tidak memiliki kekuasaan, dakwah bisa dilakukan dengan lisan, seperti menyampaikan nasihat, mengeluarkan pernyataan, atau melakukan audiensi dengan pihak terkait. Jika dua cara ini tidak memungkinkan, maka seseorang cukup menolak kemungkaran dalam hati.
Salat dan Maksiat
Dalam kesempatan tersebut, Ghoffar Ismail juga menyoroti perihal seseorang yang masih bermaksiat meskipun telah menjalankan salat. Ia menjelaskan bahwa tidak ada satu pun ayat yang menyatakan bahwa salat seseorang yang masih berbuat dosa menjadi tidak diterima. Sebaliknya, ajaran Islam menekankan bahwa beragama adalah sebuah proses menuju perbaikan diri secara bertahap.
Ia mengutip sebuah hadis yang menegaskan bahwa setiap keburukan sebaiknya segera diikuti dengan kebaikan, karena kebaikan tersebut akan menghapus keburukan sebelumnya. Dalam hadis lain disebutkan bahwa tidak ada dosa kecil jika terus-menerus dilakukan, dan tidak ada dosa besar jika seseorang bertobat dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh berhenti dari rahmat Allah hanya karena merasa diri penuh dosa, melainkan harus terus berusaha memperbaiki diri.
Ghoffar menegaskan bahwa setiap manusia pasti memiliki dosa, sebagaimana sabda Nabi bahwa seluruh anak Adam adalah pendosa, tetapi yang terbaik di antara mereka adalah yang senantiasa bertobat. Dengan demikian, meskipun seseorang masih berbuat maksiat, ia tetap harus menjaga salatnya, karena salat merupakan bagian dari proses perbaikan diri yang akan membimbingnya untuk meninggalkan keburukan secara perlahan.