MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga merupakan proses pendidikan jiwa yang bertujuan membentuk manusia paripurna. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustaz Adi Hidayat (UAH) dalam acara Ramadan Berdaya yang digelar oleh Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Jika jiwa siap, akal akan terbimbing, dan aktivitas hidup menjadi lebih terarah. Oleh karena itu ayat tentang puasa dalam Al-Qur’an diakhiri dengan kalimat taqwa sebagai hasil akhir,” ujarnya pada Rabu (19/2).
Menurut UAH turunnya surah Al-Baqarah ayat 183 tidak hanya mewajibkan puasa, tetapi juga mengajarkan pendidikan yang inklusif dan komprehensif. Puasa menjadi sarana peningkatan ketaatan sekaligus penekanan terhadap maksiat.
“Jika taatnya sudah naik dan maksiatnya menurun, maka lahirlah manusia yang paripurna,” katanya.
Selain itu, UAH juga menyoroti pentingnya menyambut Ramadan dengan persiapan yang matang, bukan hanya sekadar menunggu waktu berbuka atau memperdebatkan jumlah rakaat tarawih.
“Saya tidak ingin kita hanya bertanya kapan waktu berbuka dan sahur, tetapi melupakan makna puasa yang sesungguhnya,” ungkapnya. Perintah puasa sendiri diturunkan sejak bulan Syakban agar umat Islam memiliki waktu untuk beradaptasi dan menyusun “kurikulum” Ramadan secara lebih terstruktur.
Lebih lanjut, UAH menyampaikan bahwa sekiranya ada tiga hal yang harus dipersiapkan untuk memasuki bulan Ramadan.
Persiapan pertama adalah kenali diri sendiri terlebih dahulu. Kita perlu membiasakan diri dengan puasa sebelum Ramadan tiba, terutama melalui puasa sunnah di bulan Syakban. Hal ini bertujuan agar tubuh lebih siap secara fisik dalam menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. “Jika kita tidak terbiasa berpuasa sebelumnya, maka saat Ramadan tiba, kita akan merasa kesulitan,” jelasnya.
Kedua, persiapan intelektual. Ramadan bukan hanya tentang ibadah fisik, tetapi juga bulan peningkatan ilmu. Dalam sejarah Islam, banyak ulama menghasilkan karya besar selama Ramadan. “Bulan ini adalah bulan kemeriahan intelektual. Jika kita tidak membaca dan menuntut ilmu, Ramadan kita akan terasa kosong,” ujarnya.
Ketiga, persiapan spiritual. Membaca Al-Qur’an tidak boleh hanya menjadi kebiasaan di bulan Ramadan, tetapi harus dilakukan secara rutin. “Tilawah bukan hanya sekadar membaca, tetapi memahami dan mengamalkan. Jika kita rutin melakukannya, maka segala aspek kehidupan kita akan lebih mudah,” katanya. Kedekatan dengan Al-Qur’an juga meningkatkan kecerdasan spiritual dan intelektual.
Jika ketiga aspek ini dimaksimalkan, Ramadan akan menjadi momentum terbaik untuk meningkatkan ketakwaan. Sinyal taqwa yang terbentuk di bulan ini akan menjadi kekuatan utama dalam menjalani 11 bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadan bukan hanya ritual tahunan, tetapi sebuah proses pendidikan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam semua aspek kehidupan. (Ain)