MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM DIY 2015-2020, Robby Habiba Abror, menyoroti pentingnya harmoni antara agama dan budaya dalam dakwah Islam. Pandangan ini disampaikan dalam acara Gerakan Subuh Mengaji pada Senin (10/02).
Robby menegaskan bahwa kajian keislaman di berbagai momentum, termasuk menjelang berbuka puasa dan selepas salat Isya, merupakan tradisi yang telah berlangsung lama, bahkan diyakini dimulai oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan.
“Setiap waktu dimanfaatkan untuk kajian keislaman dan keagamaan. Ini menambah bekal dan menyemarakkan bulan suci Ramadan, yang tidak hanya sebagai Syahrus Siyam (bulan puasa), tetapi juga Syahrul Gufran (bulan ampunan),” ujar Robby.
Dalam paparannya, ia juga menyoroti pentingnya keterbukaan terhadap kebudayaan yang terus berkembang. Menurutnya, keyakinan agama yang mutlak harus mampu berdialog dengan keragaman budaya. Dakwah kultural yang pernah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah menjadi landasan dalam menyikapi berbagai perbedaan di tengah masyarakat.
“Islam itu satu, tetapi umat Islam menjalani ibadah dengan interpretasi yang beragam. Perbedaan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, tetapi harus menjadi landasan untuk memperkuat iman dan tauhid tanpa sikap takfir atau pengkafiran,” jelasnya.
Robby juga menyinggung berbagai bentuk aktivitas yang mewarnai Ramadan, termasuk bidang ekonomi dan inovasi. Ia mencontohkan program yang pernah diinisiasi selama menjabat di MPI PWM DIY, yakni “Iktikaf Jurnalistik.”
Program ini sempat menuai perdebatan karena istilahnya yang dianggap menyimpang dari makna iktikaf yang lazim di masjid. Menurutnya, perbedaan pemahaman seperti ini sering kali menghambat dialog yang lebih luas dalam dakwah.
Lebih lanjut, ia mengingatkan pentingnya Muhammadiyah sebagai organisasi yang mampu merangkul keberagaman budaya dalam bingkai Islam. “Ke depan, Muhammadiyah harus menjadi payung besar bagi kultur yang beragam. Tradisi Ramadan yang bermacam-macam harus dilihat sebagai kekayaan kebudayaan, bukan sebagai ancaman,” tegasnya.
Robby juga menyinggung tantangan dakwah di era kecerdasan buatan (AI). Ia mempertanyakan bagaimana peran ulama, ustaz, dan guru agama di masa depan ketika masyarakat dapat dengan mudah mengakses berbagai informasi keagamaan melalui teknologi.
“Ini tantangan sekaligus harapan menuju harmoni,” ungkapnya.