MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam khazanah hukum Islam, ‘urf memiliki posisi penting sebagai salah satu dasar penetapan hukum dalam persoalan muamalah. Secara bahasa, ‘urf berarti adat atau kebiasaan, yang berasal dari akar kata yang sama dengan ‘arafa (mengetahui) dan ma’ruf (dianggap baik atau diterima oleh akal sehat).
Menurut Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fattah Santoso dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (05/02), konsep ‘urf ini menegaskan bahwa kebiasaan yang berkembang di masyarakat dapat menjadi bagian dari pertimbangan hukum selama memenuhi syarat-syarat tertentu.
Penggunaan ‘urf dapat ditemukan dalam beberapa hadis Nabi Saw. Salah satunya adalah riwayat dari Ibnu Umar yang menyebutkan sabda Rasulullah Saw: “Timbangan yang menjadi standar ukuran adalah timbangan penduduk Mekkah, takaran yang menjadi standar ukuran adalah takaran penduduk Madinah.” (HR. Abu Dawud).
Menurut Fattah, hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw mengakui standar perdagangan yang telah berlaku di masyarakat pada masanya dan menjadikannya sebagai acuan dalam transaksi ekonomi.
Banyak hukum syariah yang sejatinya merupakan kelanjutan dari kebiasaan masyarakat Arab sebelum Islam. Contohnya adalah keberadaan wali dalam pernikahan serta transaksi jual beli yang dilakukan tanpa sighat, karena praktik tersebut sudah sangat lazim dan diterima dalam interaksi sosial mereka.
Hal ini menurut Fattah sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan, al-‘adah muhakkamah (adat dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum). Menurut Al-Jurjani, kutip Fattah, ‘urf adalah sesuatu yang dirasakan mantap dalam hati, diterima akal sehat, dan sesuai dengan kodrat manusia.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menggarisbawahi bahwa tidak semua bentuk ‘urf dapat dijadikan dasar hukum. Ada lima kriteria utama yang harus dipenuhi: pertama, kebiasaan tersebut telah berlaku umum dalam masyarakat; kedua, dirasa mantap dalam hati; ketiga, diterima oleh akal budi; keempat, tidak bertentangan dengan kodrat manusia; dan kelima, tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunah Nabi Saw.
“Dengan kata lain, ‘urf bukanlah dalil mutlak, tetapi harus dikaji dalam bingkai syariat Islam yang lebih luas,” ucap Fattah.
Dalam penerapannya, para ulama membatasi penggunaan ‘urf hanya dalam persoalan muamalah. Itu pun harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Sejarah mencatat bahwa banyak tradisi masyarakat Arab sebelum Islam yang kemudian diakomodasi dalam ajaran Islam, seperti ibadah haji, puasa, sistem kewarisan, bentuk-bentuk perdagangan, khitanan, dan kurban. Sebagian di antaranya diadopsi secara utuh, sebagian lagi dimodifikasi atau direvisi sesuai dengan tuntunan wahyu.
Sebaliknya, beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan prinsip keadilan Islam, seperti praktik riba dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, dihapuskan sepenuhnya.
Setelah wafatnya Rasulullah Saw, para sahabat tetap membuka diri terhadap tradisi masyarakat lain selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Oleh karena itu, ujar Fattah, memahami ‘urf dalam perspektif hukum Islam bukan sekadar melihat kebiasaan yang berkembang di masyarakat, tetapi juga bagaimana kebiasaan tersebut diharmonikan dengan nilai-nilai syariat yang lebih universal.