Oleh: Prof. Syafrimen, M.Ed., Ph.D: Ketua Lazismu Wilayah Lampung
Rihlah ke Masjid dan Maqam Imam Syafi’i di Kairo, Mesir, bukan sekedar rihlah dan ziarah biasa. Tetapi merupakan perjalanan spiritual, intelektual, sekaligus emosional yang meminta kita untuk merenung jauh ke dalam hati tentang makna ilmu, perjuangan, dan bagaimana ketiganya membangun fondasi yang kokoh untuk peradaban sebuah bangsa.
Masjid Imam Syafi’i berdiri megah di kawasan al-Qarafah, Kairo, memancarkan kesederhanaan dan kebijaksanaan. Dibangun pada abad ke-13, kompleks ini menjadi saksi perjalanan intelektual seorang ulama besar, Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, pendiri mazhab Syafi’i, yang hingga kini pemikirannya selalu menjadi rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia.
Perjalanan bukan sekedar untuk melihat arsitektur dan melihat pusara seorang yang ‘alim. Namun mengajarkan sebuah pesan besar bagaimana ketulusan dalam menuntut ilmu menjadi pondasi bagi kemajuan umat dan bangsa.
Semangat dan Ketulusan Menuntut Ilmu
Imam Syafi’i dikenal sebagai sosok yang mencurahkan seluruh hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Beliau mengembara sejak kecil, dari Gaza ke Mekah, kemudian ke Madinah, Baghdad, hingga ke Mesir. Kecintaannya pada ilmu pengetahuan membuat dirinya tidak berhenti belajar dari banyak guru besar, seperti Imam Malik di Madinah, hingga akhirnya melahirkan sistem pemikiran hukum Islam yang kini dikenal sebagai Ushul Fiqh.
Setiap langkah di Masjid Imam Syafi’i, seolah-seolah kita diajak untuk merenungi betapa kuatnya ketulusan beliau mendalami ilmu. Maka ia pernah berkata:
“Aku tidak pernah makan kenyang sejak 16 tahun, karena ilmu yang aku cari lebih berharga daripada makanan.”
Ketulusan seperti ini merupakan inti sebuah perjuangan. Bagi Imam Syafi’i, ilmu bukan untuk memperkaya diri atau mencari popularitas, melainkan sebagai cahaya yang menerangi umat. Beliau mengajarkan bahwa seorang pencari ilmu sejati harus berjuang, rela berkorban, dan menjaga hati dari kesombongan.
Semangat ini relevan untuk kita saat ini. Di tengah era modern yang penuh distruksi, Imam Syafi’i mengingatkan bahwa ketulusan dalam menuntut ilmu merupakan kunci utama untuk membangun sebuah bangsa. Ilmu yang dipelajari dengan ikhlas akan melahirkan pemikiran yang murni, kebijakan yang adil, dan inovasi yang bermanfaat bagi orang banyak.
Ilmu dan Peradaban Pondasi Kemajuan Bangsa
Perjalanan Imam Syafi’i juga mengajarkan bagaimana ilmu pengetahuan berperan sentral dalam membangun peradaban. Peradaban Islam pernah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-8 hingga ke-14. Masa itu bukan hanya karena keimanan yang kuat, tetapi juga karena semangat belajar, cinta ilmu, meneliti, berdiskusi serta membahas yang luar biasa.
Ilmu Menjadi Pondasi Utama Kemajuan
Semangat keilmuan para ulama seperti Imam Syafi’i, melahirkan pusat-pusat ilmu seperti Bayt al-Hikmah di Baghdad dan Universitas Al-Azhar di Kairo. Mereka tidak hanya mempelajari agama, tetapi juga matematika, kedokteran, filsafat, astronomi, dan sastra.
Belajar dari Imam Syafi’i bahwa membangun bangsa tidak cukup hanya dengan semangat semata, namun diperlukan kedalaman ilmu dan pemikiran. Sebuah bangsa akan maju ketika generasinya mampu berpikir kritis, menghargai ilmu pengetahuan, tidak takut berdiskusi dan membahas berbagai hal. Peradaban bukan tentang kekuatan fisik semata, melainkan bagaimana mempertajam pemikiran dan hati.
Tanggung Jawab Ilmu: Diri Sendiri ke Bangsa
Pelajaran penting lainnya di Masjid dan maqam Imam Syafi’i menunjukan ilmu bukan sekedar hak pribadi, melainkan amanah sosial. Imam Syafi’i tidak hanya berhenti menjadi seorang pemikir, tetapi juga seorang pendidik dan pemimpin pemikiran.
Ilmu yang benar, menurut Imam Syafi’i, harus berdampak pada masyarakat. Beliau pernah berkata:
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada hati yang gelap.”
Di sini kita memahami bahwa tanggung jawab ilmu untuk membangun umat. Setiap orang yang berilmu, sekecil apapun, memiliki peran untuk menyebarkan manfaat. Jika seseorang memahami hukum, ia harus membantu menegakkan keadilan. Jika seseorang memahami sains, ia harus menggunakannya untuk memperbaiki kehidupan.
Disinilah lahir konsep “peradaban.” Sebuah bangsa tidak akan pernah maju jika para pemudanya hanya belajar untuk kepentingan pribadi. Ilmu harus diaktualisasikan ke dalam kebijakan publik, teknologi, pendidikan, budaya dan peradaban sebuah bangsa.
Membangun Peradaban, Menghidupkan Kembali Semangat Imam Syafi’i
Ziarah ke Masjid dan Maqam Imam Syafi’i bukan hanya perjalanan religius, tetapi juga sebuah refleksi mendalam membangun peradaban hari ini. Jika ingin bangsa kita maju, kita perlu menghidupkan kembali semangat Imam Syafi’i.
Ketulusan menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri, tetapi untuk menerangi pikiran dan hati.
Kritis dan terbuka, tidak takut untuk berdiskusi (membahas), bertanya, dan selalu memperbaiki kesalahan. Mengaktualisasikan ilmu, membawa ilmu dalam praktik nyata yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Berpikir jangka panjang, membangun peradaban memerlukan ketekunan dan visi besar, bukan ambisi sesaat.
Kairo mengajarkan kita, melalui masjid dan makam Imam Syafi’i, bahwa sebuah bangsa besar lahir dari pikiran-pikiran besar yang tumbuh dalam ketulusan dan perjuangan. Jika generasi muda hari ini mau mengambil semangat tersebut, maka bukan tidak mungkin peradaban Islam dan peradaban Indonesia akan menyinari Dunia.
Perjalanan tidak hanya berakhir di Kairo, melainkan terus berlanjut ke dalam jiwa. Masjid dan maqam Imam Syafi’i bukanlah titik akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju kecintaan dan kebangkitan ilmu serta peradaban.