MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Pengajian Malam Selasa yang diselenggarakan Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengungkap kiprah internasional dari Wakil Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah tahun 1939, yaitu Kiai Farid Ma’ruf.
Sejarah kiprah internasional Kiai Farid Ma’ruf tersebut diungkapkan oleh Ketua Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) PP Muhammadiyah sekaligus sesepuh Kampung Kauman Yogyakarta, Budi Setiawan. Budi mengenal dekat sosok Farid Ma’ruf, lantaran rumahnya saling berhadapan di Kampung Kauman.
Secara ringkas Budi menjelaskan sebelum belajar ke Kairo, Mesir, Kiai Farid Ma’ruf menyelesaikan studi di Sekolah Dasar Bumiputra atau Hollandsch Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke Pondok Tremas dan Al Irsyad di Pekalongan dan Jakarta.
“Lalu dia belajar di Kairo, tentu dalam suasana yang berbeda karena di perguruan tinggi internasional maka dia juga berdialog dengan orang-orang dari berbagai negeri. Pengalaman itulah yang membentuk karakter dirinya sebagai seorang intelektual berpengalaman dan berpandangan luas,” tutur Budi pada (17/2).
Meskipun berasal dari keluarga terpandang di Yogyakarta, namun urusan ekonomi Kiai Farid Ma’ruf selama belajar di Kairo tak kalah dramatis. Demi memenuhi kebutuhan hariannya, Kiai Farid masa itu selain belajar juga nyambi bekerja sebagai pencuci piring dan pekerjaan lainnya.
“Untuk menopang kebutuhan dan pendidikannya Kiai Ma’ruf kadang nyambi menjadi tukang cuci piring, atau pekerjaan lainnya karena kiriman dari orang tuanya tersendat. Kan tidak mudah mengirim uang dari Indonesia ke Mesir,” ungkapnya.
Selain tersendatnya kiriman uang ke Kiai Ma’ruf selama di Mesir karena teknologi belum semaju sekarang, di sisi lain H.M Ma’ruf – orang tua Kiai Ma’ruf juga bukan sosok yang kaya raya. Meskipun dirinya menjadi sosok terpandang di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta.
Meski tantangan hidup selama di Mesir begitu rupa, namun Kiai Ma’ruf tetap mengembangkan bakatnya, khususnya di dunia kepenulisan. Tercatat dia menjadi wartawan di surat kabar Al Balagh dan Seruan Al Azhar yang terbit di Mesir. Selain itu Kiai Ma’ruf juga sering mengirim tulisannya ke Harian Adil dan Suluh Rakyat Indonesia.
Tak sampai di situ, demi memupuk semangat nasionalisme pelajar Indonesia yang berada di Mesir, Kiai Farid Ma’ruf bergabung dengan Perhimpunan Indonesia Raya (PIR) yang didirikan oleh Abdul Kahar Muzakir – tokoh Muhammadiyah lain yang sedang belajar di Mesir kala itu.
Kiai Farid Ma’ruf juga bersemangat dalam mengenalkan perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan, dengan melawan kolonialisme Barat. Kondisi serupa yang dialami Indonesia kala itu juga dialami oleh negara-negara Islam yang lain.
“Kemudian beliau juga mengenalkan perjuangan bangsa Indonesia kepada Raja Farouk (Raja Mesir 1936-1952) untuk merdeka. Maka beliau dikenal bersama Pak Agus Salim dan Pak Rasyidi – itu kenapa Arab itu cepat untuk kemudian mengakui Indonesia,” katanya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Mesir, Kiai Farid Ma’ruf kembali ke Indonesia. Selama perjalanan pulang itu, dia berkunjung ke berbagai negara seperti Palestina, Suriah, Lebanon, Irak, Iran, Pakistan, dan Malaysia. Kunjungan tersebut digunakannya untuk mengenalkan perjuangan rakyat Indonesia.
Ketika berkunjung ke Pakistan, Kiai Farid mengkhususkan waktu untuk bertemu dengan Muhammad Iqbal atau Allama Iqbal untuk berkonsolidasi dan menimba ilmu. Perjumpaan yang dilakukan oleh Kiai Farid tersebut berjalan lancar, karena dia menguasai empat bahasa yaitu Arab, Prancis, Inggris, dan Belanda.