Siapa yang tidak kenal dengan roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck atau Di Bawah Lindungan Ka’bah. Keduanya merupakan guratan pena dari seorang ulama kondang Muhammadiyah sekaligus sastrawan kelahiran Agam, Sumatra Barat, Buya Hamka. Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) lahir pada 17 Februari 1908 dan dibesarkan dengan tradisi keislaman yang kental. Ayahnya, Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul merupakan ulama di tanah Minangkabau, sementara Ibunya berlatar dari keluarga seniman.
Sejak kecil, Hamka sangat gemar membaca. Saat bersekolah di Sumatra Barat, Buya Hamka lebih banyak menghabiskan waktunya membaca di perpustakaan Zainaro. Perhatian Hamka dibajak oleh buku cerita karangan sastrawan Minangkabau terbitan Balai Pustaka yang berbaris di rak-rak perpustakaan. Kegemarannya itu yang kemudian hari mengantarkannya mengarang novel. Ia juga menulis sedemikian banyak artikel pada beberapa surat kabar harian, dan menghasilkan puluhan bahkan ratusan buku.
Buya Hamka Menyentuh Dunia Sastra
Kealiman Buya Hamka tidak lahir serampangan, ia berguru kepada tokoh-tokoh bangsa lain. Sejak berusia 16 tahun, Hamka muda merantau ke pulau Jawa untuk belajar pergerakan islam modern di Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia bertemu dengan salah satu pembesar Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo yang kemudian Hamka berguru kepadanya tentang tentang agama.
“Ki Bagus sesungguhnya juga sastrawan bahkan pernah mementaskan drama di kauman. Dia pernah tinggal di kampung Wonokromo 5 tahun yang terkenal dengan apresiasi sastranya yang tinggi sekali. Wonokromo itu 1920-an itu sering ada pertunjukan toneel, kayak teater gitu,” kata Mustofa W. Hasyim, Seniman Yogyakarta.
Hamka juga sempat bertandang ke Pekalongan untuk menemui AR Sutan Mansur, guru yang juga kakak iparnya. Saat itu, Sutan Mansur adalah ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan. “Ki Bagus dan AR Sutan Mansur adalah guru agama dan menulisnya,” imbuh Mustofa.
Menurut Mustofa, Muhammadiyah generasi awal adalah penulis dan kemauan sastranya tinggi. Mereka adalah produk pesantren dan di pesantren semua kitab kuning ditulis dengan tulisan sastra. Sehingga menjadi hal yang lazim bagi ulama di zaman itu yang banyak mengarang prosa.
Hamka memiliki kemampuan bahasa Arab yang tinggi. Dengan modal itu, ia mengonsumsi buku-buku berbahasa Arab karangan ulama dan pujangga Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Al-Aqqad, Mustafa Al-Manfaluti, dan Husayn Haykal. Tak berhenti di situ, ia memperluas khazanahnya dengan melahap karya pengarang Eropa yang telah diterjemahkan ke bahasa Arab antara lain Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.
Berdakwah dengan Sastra
Pada tahun 1936, Hamka memimpin majalah Pedoman Masyarakat (Medan) atas permintaan Muhammad Rasami, tokoh Muhammadiyah Bengkalis. Di saat bersamaan Hamka mulai terjunke dalam khazanah kesusastraan dengan menulis novel berseri dan cerita pendek di majalah mingguan tersebut. Kolom Pedoman Masyarakat sering diisi oleh karya para nasionalis seperti Mohammad Hatta dan Haji Agus Salim. Hal ini memaksa Hamka untuk menulis dengan landasan ilmu pengetahuan yang kokoh untuk menghasilkan karya berkualitas.
Hamka menggunakan sastra untuk mengritik adat-adat lama yang dianggap tidak kompatibel dengan ajaran islam. Novel pertama Buya Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah mengisahkan kemalangan seorang pemuda yang terhalang cintanya karena adat. Hamka menyindir adat sekaligus menyelipkan nilai agama dalam karyanya. Dengan kata lain, sastra adalah cara artistik Hamka untuk berdakwah. “Pada akhirnya, dia asyik nulis sastra itu adalah bagian dari cara dakwah dia. Dia kritik adat lama di Minang,” ujar Mustofa.
Menurut Mustofa, sastra memiliki arti yang luas dan disusun dengan struktur yang rapi. “Dalam bahasa arab, sastra itu kan balaghah. Balaghah itu ada metafora, macam-macam. Kalimatnya harus shahih dalam arti sehat. Sehat itu kalimatnya bersih dan sampai (kepada pembaca),” ungkap Mustofa
Buya Hamka menggunakan sastra untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan dengan cara yang lebih dekat kepada pembacanya. Alih-alih menjadi pendakwah yang menyampaikan risalah islam dengan telanjang dan membosankan, Hamka memilih mengarang prosa sebagai media dakwah dan wujud kegemarannya terhadap seni. “Sebagai kata sifat (sastra) itu isinya mengandung keindahan, kebaikan dan juga kebenaran itu menyatu, menjadi sangat bagus,” imbuh Mustofa.
Mustofa menilai karya sastra yang bagus itu ada unity (kesatuan) dan utuh. Tapi di saat bersamaan mengandung kompleksitas di dalamnya. Lalu clarity (jelas), maksudnya, dirangkai dengan kalimat yang fasih. Jadi, setidaknya sastra memenuhi tiga instrumen yaitu utuh, jelas dan kompleks. “Sastra itu bergerak di ruang-ruang simbolik itu. Hamka sudah mahir sekali,” lanjutnya.
Buya Hamka akan terus dikenang sebagai sosok ulama besar dan sastrawan tanah air. Kecemerlangan Buya Hamka bahkan diakui secara luas hingga Timur Tengah dan Malaysia. Pada 1959, Universitas Al-Azhar, Kairo menganugerahi Buya Hamka sebuah gelar Doktor Honoris Causa. Pada 1974, kembali memperoleh gelar kehormatan dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan. Ia juga memperoleh gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Nama Hamka diabadikan sebagai nama Universitas milik Muhammadiyah, yaitu Universitas Prof. Dr. Hamka (Uhamka). (Adit)