Pembahasan mengenai batal atau tidaknya puasa akibat keluarnya air mani kerap menjadi pertanyaan di kalangan umat Islam. Jawabannya bergantung pada bagaimana air mani itu keluar.
Jika terjadi karena faktor yang disengaja, seperti onani atau masturbasi, atau akibat ciuman dan pelukan yang membangkitkan syahwat hingga mencapai ejakulasi, maka puasa batal. Namun, jika sekadar berciuman atau berpelukan tanpa menimbulkan keluarnya air mani, maka puasa tetap sah.
Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. memberikan jawaban yang cukup jelas. Ia berkata,
كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُقَبِّلُ ويُبَاشِرُ وهو صَائِمٌ، وكانَ أمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ
“Nabi saw mencium ketika berpuasa dan berpelukan ketika berpuasa, namun beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya.” (HR. Bukhari).
Hadis ini menunjukkan bahwa ciuman atau pelukan tidak serta-merta membatalkan puasa, kecuali jika menyebabkan keluarnya air mani.
Dalam aturan fikih, hubungan seksual di siang hari Ramadan secara jelas membatalkan puasa. Begitu pula dengan keluarnya mani secara sengaja, seperti melalui onani atau masturbasi, atau akibat rangsangan fisik seperti berciuman yang berujung ejakulasi.
Namun, keluarnya mani karena mimpi basah tidak membatalkan puasa, karena terjadi di luar kesadaran. Imam an-Nawawi menegaskan, “Apabila seseorang bermimpi basah, maka menurut ijmak para ulama, tidak batal puasanya.”
Dari berbagai dalil ini, dapat disimpulkan bahwa inti dari batal atau tidaknya puasa terletak pada kesengajaan. Jika keluarnya air mani terjadi tanpa kesengajaan, maka puasa tetap sah.
Namun, jika terjadi karena dorongan yang disengaja, maka puasa batal dan harus diganti. Kesadaran dalam menjaga hawa nafsu menjadi bagian dari hikmah puasa, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.