Pada malam yang sunyi di bulan Rajab, sebuah peristiwa luar biasa terjadi. Nabi Muhammad Saw menerima undangan istimewa dari Sang Pencipta untuk melakukan perjalanan yang tak seorang pun sebelumnya dapat membayangkannya. Malam itu, perjalanan Al-Isra dan al-Mi’raj dimulai. Ini adalah perjalanan yang melampaui batas logika dan waktu.
Di Masjidil Haram, Jibril datang dengan membawa Buraq, makhluk putih bersayap yang lebih cepat dari cahaya. Dengan kecepatan kilat, Nabi Saw dibawa menuju Baitul Maqdis, Masjidil Aqsa, yang menjadi simbol pertemuan antara para Nabi. Di sana, beliau memimpin salat bersama para Nabi terdahulu, Ibrahim, Musa, Isa, dan banyak lainnya. Peristiwa ini jadi sebuah penegasan akan kesinambungan risalah ilahi dari zaman ke zaman.
Namun, perjalanan itu belum selesai. Diiringi Jibril, Nabi Saw melanjutkan perjalanan menuju langit. Langit demi langit beliau jelajahi, bertemu dengan Nabi Adam di langit pertama, Nabi Isa dan Yahya di langit kedua, hingga akhirnya mencapai Sidratul Muntaha, tempat yang tak bisa disentuh oleh makhluk lain. Di sanalah, beliau berada di hadapan Allah Swt, menerima perintah salat lima waktu yang akan menjadi tiang agama bagi umat Islam.
Perjalanan itu juga memberikan Nabi Saw pandangan tentang Surga dan Neraka, memperlihatkan balasan bagi amal perbuatan manusia. Beliau menyaksikan indahnya Surga dengan segala kenikmatannya, sekaligus pedihnya azab di Neraka bagi mereka yang menolak kebenaran. Pengalaman ini memberikan pelajaran mendalam tentang tanggung jawab manusia di dunia dan konsekuensi yang akan mereka hadapi di akhirat.
Namun, peristiwa Al-Isra dan al-Mi’raj tak hanya menyimpan keajaiban spiritual. Ia juga menantang akal manusia. Sebagian orang bertanya-tanya, “Apakah ini hanya mimpi?” Sebagian lagi percaya bahwa Nabi Saw melakukannya dalam keadaan terjaga, sementara sebagian lainnya melihatnya sebagai perjalanan dalam dunia mistik. Namun, bagi orang-orang beriman, ini adalah bukti kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Isra, yang berarti perjalanan malam, dan Mi’raj, yang bermakna pendakian, adalah simbol perjalanan Nabi Saw yang melampaui batasan duniawi. Dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dari bumi ke langit, peristiwa ini menjadi bukti bahwa dengan kehendak Allah, segala sesuatu mungkin terjadi.
Namun, saat Nabi Saw kembali ke Makkah dan menceritakan perjalanan ini, tidak semua orang percaya. Kaum Quraisy menertawakannya, menganggapnya mustahil. Tetapi, di tengah cemoohan itu, Abu Bakr (RA) berdiri teguh. Dengan keyakinan penuh, beliau berkata, “Jika Muhammad yang mengatakannya, maka aku percaya.” Karena keimanan ini, beliau diberi gelar al-Siddique, yang berarti “yang membenarkan.”
Kesaksian Al-Quran dan Hadis memperkuat keajaiban ini. Dalam Surah Najm, Allah SWT berfirman:
Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratilmuntahā, di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratilmuntahā diliputi oleh sesuatu yang meliputinya, penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (QS. An-Najm: 13-17).
Bahkan, ketika Quraisy menantang Nabi Saw untuk membuktikan perjalanannya, Allah SWT memberikan mukjizat lain. Nabi Saw mampu mendeskripsikan Baitul Maqdis secara rinci. Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi Saw berkata, “Ketika Quraisy mendustakan aku, Allah menampakkan Baitul Maqdis di hadapanku. Aku menjelaskannya kepada mereka sambil melihatnya.” (HR. Bukhari).
Bagi yang beriman, Isra dan Mi’raj adalah bukti nyata kebesaran Allah SWT. Bagi yang ragu, itu menjadi pengingat bahwa iman sejati melampaui batasan logika. Dan bagi kita semua, perjalanan ini adalah pelajaran bahwa dalam setiap cobaan hidup, selalu ada keajaiban dan rahmat yang menunggu mereka yang berserah diri kepada-Nya.
Pada malam Isra dan Mi’raj, tiga hadiah besar diberikan kepada Rasulullah Saw untuk umatnya. Pertama, kewajiban salat lima waktu, yang langsung diperintahkan Allah tanpa perantara. Kedua, ayat-ayat terakhir dari Surah Al-Baqarah, yang berisi rahmat, perlindungan, dan doa pengampunan. Ketiga, pengumuman bahwa dosa-dosa umat ini, kecuali syirik, akan diampuni. Hadiah-hadiah ini menunjukkan betapa istimewanya umat Nabi Muhammad Saw di sisi Allah.
Isra dan Mi’raj juga meninggalkan pesan penting tentang persatuan dan solidaritas umat Islam, terutama dalam menjaga kehormatan Masjid al-Aqsa. Tempat suci ini adalah bagian dari perjalanan mulia tersebut, dan sejarah telah membuktikan bahwa kehormatan umat Islam selalu terkait dengan pembebasan Baitul Maqdis.
Di tengah ujian dan penderitaan yang dihadapi umat Islam di sekitar Masjid al-Aqsa, kita harus berdiri bersama, bersatu dalam perjuangan, sebagaimana Rasulullah Saw memimpin para nabi dalam salat pada malam Isra.
Referensi:
Ghulām Murtaza Azād, “Isra and Mi’raj: night journey and ascension of Allah’s apostle Muḥammad (saws).” Islamic Studies 22.2 (1983): 63-80.
Ibn Ḥajar, Fatḥ al-bārī sharḥ ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyya, 1997), juz 11, 525–527.
Mohammad Shekh, “Isra and Mi’raj: The Great Miracles of the Prophet ﷺ”, dalam Islam on Web, https://en.islamonweb.net/isra-and-miraj-the-great-miracles-of-theprophetﷺ#_ftn2, diakses pada Jumat, 17 Januari 2025.