MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Dalam pengajian Tarjih yang diselenggarakan pada Rabu (08/01), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, membahas salah satu konsep penting dalam ushul fikih, yakni istishāb. Penjelasan ini mengurai definisi dan penerapannya dalam berbagai konteks hukum Islam, termasuk relevansinya dengan aturan hukum kontemporer.
Menurut Syamsul Anwar, konsep istishāb secara sederhana dapat dipahami sebagai keberlanjutan berlakunya suatu hukum yang telah berlaku di masa lalu hingga masa yang akan datang, selama tidak ada dalil atau bukti yang mengubahnya. Beliau merujuk kepada definisi dari Imam Syaukani yang menyatakan, “Apa yang telah berlaku di masa lalu terus berlaku di masa yang akan datang selama tidak ada yang mengubahnya.”
Lebih lanjut, Syamsul mengutip pandangan ulama kontemporer, seperti Wahbah az-Zuhaili, yang mendefinisikan istishāb sebagai “kontinuitas berlakunya suatu hukum di masa depan karena keberlakuannya di masa lalu, selama tidak ditemukan bukti yang menjadi penyebab berubahnya hukum tersebut.” Namun, beliau menegaskan bahwa kelangsungan hukum ini bukanlah sekadar asumsi, melainkan hasil dari kajian yang mendalam.
“Pada intinya, definisi-definisi ini, meskipun ada yang panjang dan berbelit-belit, memiliki kesamaan. Istishāb adalah kelangsungan berlakunya hukum mengenai suatu keadaan di masa lalu hingga masa yang akan datang karena belum ada dalil yang mengubah keberlakuan tersebut,” papar Syamsul.
Beliau juga menyoroti bahwa dalam hukum Indonesia, prinsip ini terlihat pada aturan peralihan. “Aturan peralihan adalah salah satu bentuk implementasi dari istishāb, di mana aturan lama tetap berlaku sejauh tidak diubah oleh aturan yang baru,” jelasnya.
Syamsul Anwar menjelaskan bahwa para ulama ushul fikih membagi istishāb ke dalam beberapa jenis. Salah satunya adalah istishāb al-‘adam al-aṣlī atau keberlanjutan ketiadaan hukum yang asli. Dalam konteks ini, status asli suatu perkara adalah tidak adanya hukum sebelum ada dalil yang menetapkan hukum tersebut.
“Konsep al-‘adam al-aṣlī digunakan oleh ulama Hanafiyah sebagai alternatif dari mafhum mukhālafah (argumentum a contrario). Misalnya, larangan Al-Qur’an tentang makan riba secara berlipat ganda (ad‘āfan muḍā‘afah) dapat dipahami melalui mafhum mukhālafah bahwa makan riba dalam jumlah kecil diperbolehkan. Namun, ulama Hanafiyah menolak pemahaman seperti ini karena dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat yang lebih luas,” jelasnya.
Sebagai contoh, Syamsul mengangkat hadis tentang zakat kambing. “Hadis menyebutkan bahwa zakat diwajibkan pada kambing yang dilepas (fī sā’imati al-ghanam zakatun), tetapi tidak menyebutkan hukum kambing yang dikandangkan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kambing yang dikandangkan tidak terkena zakat berdasarkan al-‘adam al-aṣlī, yaitu ketiadaan hukum sebelum ada dalil yang menetapkan kewajiban zakat.”
Syamsul juga menjelaskan prinsip istishāb al-qawā‘id al-‘āmmah atau keberlanjutan berlakunya prinsip umum. Contohnya adalah kaidah al-aṣlu fī al-asyā’ al-ibāhah (pada dasarnya segala sesuatu itu boleh), yang berlaku hingga ditemukan dalil yang melarangnya. “Dalam bidang muamalah, prinsip ini menyatakan bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya,” katanya.
Beliau menekankan bahwa kajian terhadap hukum harus dilakukan dengan hati-hati untuk memastikan tidak adanya larangan yang berlaku. “Keberlanjutan prinsip ini adalah bagian dari istishāb, yaitu status hukum yang telah ditentukan oleh akal atau syariat akan tetap berlaku sampai ada bukti yang mengubahnya,” tambahnya.
Syamsul Anwar menyimpulkan bahwa istishāb adalah salah satu instrumen penting dalam menjaga keberlanjutan hukum syariat. “Prinsip ini memberikan kerangka kerja yang stabil bagi hukum Islam, sekaligus menjadi dasar dalam memahami berbagai situasi hukum yang belum memiliki ketetapan jelas,” ucap Syamsul.