MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Istilah bid’ah sering kali menjadi topik hangat terutama Ketika memasuki bulan Rajab. Secara sederhana, bid’ah merujuk pada suatu jalan atau cara dalam agama yang dibuat-buat, menyerupai syariat, dan dimaksudkan untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.
Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (02/01), definisi di atas menyoroti bahwa bid’ah melibatkan inovasi dalam ibadah tanpa dasar dalil syara’ atau tanpa contoh dari Rasulullah SAW.
Menurut Ruslan, para ulama mendefinisikan bid’ah secara lebih teknis sebagai suatu cara mengamalkan agama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah, tetapi dipraktikkan seolah-olah sebagai bagian dari syariat.
Dalam pengertian ini, terdapat dua unsur utama bid’ah: pertama, adanya praktik yang diada-adakan dan menyerupai ajaran agama; kedua, praktik tersebut diyakini sebagai ritual ibadah kepada Allah. Dengan demikian, bid’ah mencakup baik tindakan baru dalam ibadah maupun keyakinan yang menyimpang dari prinsip-prinsip Islam.
Ruslan menerangkan bahwa bid’ah juga tidak terbatas pada tindakan aktif, tetapi mencakup apa yang disebut sebagai “bid’ah tarkiyah.” Ini merujuk pada sikap meninggalkan sesuatu yang sebenarnya diperintahkan agama, baik yang sifatnya sunnah maupun wajib, dengan anggapan bahwa meninggalkan itu adalah bentuk ibadah.
Misalnya, keyakinan bahwa seorang wali yang telah mencapai tingkat hakikat tidak perlu lagi melaksanakan syariat, karena syariat dianggap hanya sebagai kulit agama, sedangkan hakikat adalah inti agama. Pandangan semacam ini bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang menekankan keselarasan antara syariat dan hakikat.
Beberapa hal utama perlu diperhatikan dalam memahami bid’ah. Pertama, bid’ah adalah cara mengamalkan agama yang tidak didasarkan pada tuntunan Rasulullah. Kedua, bid’ah hanya berkaitan dengan hal-hal agama, seperti akidah dan ibadah, dan tidak mencakup urusan duniawi yang bersifat logis atau ma’qul al-ma’na. Ketiga, bid’ah dianggap sebagai kebalikan dari sunnah, sehingga seluruh bentuk bid’ah harus ditinggalkan.
Ruslan mengingatkan bahwa bid’ah dalam urusan agama harus dihindari, sementara inovasi dalam hal-hal duniawi tetap diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Pendekatan ini menjadi kunci untuk menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana.