MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Ibadah adalah bentuk penghambaan seorang hamba kepada Allah dengan cara mentaati segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan mengamalkan hal-hal yang diizinkan-Nya. Demikian disampaikan Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ruslan Fariadi dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (02/01).
Dalam QS Adz-Dzariyat ayat 56 ditegaskan, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Ibadah menurut Ruslan mengandung makna ketundukan penuh kepada Allah, sebagaimana pula ditegaskan dalam QS Ali Imran ayat 32, “Katakanlah: Taatilah Allah dan Rasul-Nya.”
Ibadah memiliki dua dimensi utama: ibadah mahdlah dan ghair mahdlah. Ibadah mahdlah berlandaskan kepatuhan, ketaatan, dan kesesuaian dengan ketentuan syariat. Contohnya, tata cara salat, jumlah rakaat, atau waktu pelaksanaan salat wajib. Di sisi lain, ibadah ghair mahdlah lebih menekankan aspek manfaat dan kemaslahatan. Contohnya meliputi bentuk masjid, sajadah, atau hidangan berbuka puasa.
Pembedaan ini juga tampak dalam ibadah puasa. Aspek mahdlah mencakup ketentuan awal Ramadan, tata cara berpuasa, dan jumlah hari puasa wajib. Sementara itu, aspek ghair mahdlah mencakup cara menentukan awal Ramadan, seperti menggunakan rukyat atau hisab, serta variasi hidangan sahur dan berbuka.
Menurut Ruslan, pemetaan antara ibadah mahdlah dan ghair mahdlah ini penting untuk memahami konsep bid’ah, khususnya dalam membedakan mana yang tergolong inovasi dalam agama dan mana yang tidak.
Sebagai contoh, penggunaan hisab untuk menentukan awal bulan Ramadan tidak termasuk bid’ah. Meski pada masa Nabi Muhammad SAW lebih sering digunakan rukyat, penggunaan hisab sebagai metode penentuan tidak menyimpang dari prinsip ibadah ghair mahdlah.
Bid’ah sendiri diartikan sebagai jalan baru dalam agama yang menyerupai syariat, namun tidak didasarkan pada dalil yang sah. Biasanya, bid’ah dimaksudkan untuk memberikan kesan berlebih-lebihan dalam ibadah.
Namun, tidak semua inovasi dapat dikategorikan sebagai bid’ah, terutama jika inovasi tersebut bertujuan mempermudah atau memperkuat pelaksanaan ibadah yang bersifat ghair mahdlah. Pemetaan ini dilakukan agar lebih bijak dalam menyikapi persoalan baru dalam praktik keagamaan tanpa terjebak pada klaim bid’ah yang kurang mendasar.