Istihālah adalah perubahan mendasar suatu zat najis menjadi suci melalui transformasi sifat dan karakteristiknya. Dalam definisi fikih, istihālah digambarkan sebagai perubahan esensi suatu benda sehingga nama, sifat, dan karakternya menjadi berbeda dari keadaan semula.
Konsep ini menjadi perhatian utama dalam berbagai konteks kehidupan modern, khususnya dalam industri makanan dan minuman yang berhubungan dengan bahan-bahan tertentu yang sebelumnya dianggap najis atau haram.
Para ulama sepakat bahwa perubahan alami khamr menjadi cuka melalui proses fermentasi menjadikan cuka tersebut suci dan halal untuk dikonsumsi. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah Saw: “Sebaik-baik makanan pendamping adalah cuka.” (HR Muslim). Kesepakatan ini menunjukkan bahwa perubahan sifat memabukkan dalam khamr adalah faktor penentu yang mengubah status hukumnya.
Namun, perdebatan muncul ketika proses ini terjadi dengan campur tangan manusia, misalnya melalui penambahan bahan kimia tertentu untuk mempercepat fermentasi.
Mazhab Syafi’i, Zahiri, dan sebagian Maliki berpendapat bahwa fermentasi yang disengaja tidak dapat mengubah status khamr menjadi halal. Sebaliknya, ulama Hanafi dan sebagian Maliki serta Ahmad (dalam riwayat tertentu) berpendapat bahwa intervensi manusia dalam proses ini tetap memungkinkan perubahan hukum. Pandangan ini didukung oleh logika bahwa hukum bergantung pada ʿillah (kausa), yang dalam kasus khamr adalah sifat memabukkan. Ketika sifat memabukkan hilang, maka hukumnya pun berubah.
Dalam hal lain, istihālah juga diterapkan pada benda najis selain khamr. Ulama Hanafi, Maliki, dan sebagian Hanbali meyakini bahwa proses istihālah dapat menyucikan benda-benda najis, seperti gelatin yang berasal dari tulang atau kulit hewan yang tidak disembelih secara syar’i. Sebaliknya, mazhab Syafi’i dan sebagian Hanbali menolak pandangan ini, kecuali dalam kasus khamr yang berubah menjadi cuka.
Istihālah sering kali dibandingkan dengan konsep istihlāk. Konsep istihlāk merujuk pada hilangnya sifat suatu zat karena bercampur dengan zat lain dalam jumlah besar. Sebagai contoh, dalam mazhab Hanafi, jika air bercampur dengan arak hingga rasa, bau, dan warnanya hilang, maka air tersebut dianggap suci. Contoh lainnya adalah ketika susu seorang wanita bercampur dengan obat dalam jumlah besar, maka hubungan nasab tidak dianggap terjadi karena sifat asli susu telah terdominasi oleh zat lain.
Konsep-konsep ini mendapat perhatian besar dalam konteks modern, terutama dalam industri makanan dan farmasi. Misalnya, penggunaan gelatin dalam produk makanan sering kali menjadi isu bagi konsumen Muslim. Berdasarkan prinsip istihālah, jika gelatin yang berasal dari tulang atau kulit hewan najis mengalami perubahan kimiawi total, maka statusnya menjadi suci dan dapat dikonsumsi. Pandangan ini diperkuat oleh resolusi Konferensi Fikih Kedokteran yang diadakan di Kuwait pada Mei 1995, yang menyatakan bahwa proses istihālah dapat mengubah zat najis menjadi tidak lagi najis.
Selain itu, prinsip istihālah juga diterapkan dalam kasus alkohol dalam makanan atau obat-obatan. Menurut fatwa yang dikeluarkan oleh Assembly of Muslim Jurists of America (AMJA), jika alkohol tambahan dalam makanan telah mengalami perubahan kimiawi sehingga tidak meninggalkan jejak rasa, aroma, atau sifat memabukkan, maka makanan tersebut boleh dikonsumsi.
Pandangan ini menunjukkan fleksibilitas fikih dalam menjawab tantangan kontemporer, dengan tetap berpegang pada kaidah: al-ḥukmu yadūru maʿa ʿillatihi wujūdan wa ʿadaman (hukum bergantung pada ada atau tidaknya sebab hukum tersebut).
Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa khamr yang berubah menjadi cuka adalah suci karena sifat memabukkan yang menjadi sebab keharaman telah hilang. Ia juga berpendapat bahwa hukum kenajisan khamr dapat hilang jika sifat memabukkannya lenyap, baik melalui perubahan alami maupun intervensi manusia yang diizinkan.
Dalam aplikasi fikih minoritas, prinsip taysīr (kemudahan) sering kali digunakan untuk memilih pendapat yang lebih relevan dan sesuai dengan kebutuhan umat Muslim di era modern. Hal ini menjadi penting mengingat dinamika kehidupan saat ini yang kompleks dan membutuhkan pandangan hukum yang tidak hanya berlandaskan teks, tetapi juga mempertimbangkan konteks.
Melalui pendekatan ini, istihālah dan istihlāk menjadi bukti nyata fleksibilitas hukum Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Namun, penting untuk selalu mengedepankan kehati-hatian dalam penerapan prinsip ini, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau penyalahgunaan yang dapat merugikan umat.
Referensi:
Muhamad Rofiq Muzakkir, “Standar Makanan Halal Menurut Fiqh Aqalliyāt (Minoritas Muslim),” dalam makalah yang dipresentasikan di “Halaqah Status Halal-Haram Bumbu Masak Tradisional Jepang”, oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada Jumat 24 Rajab 1446 H/24 Januari 2025 M, di Pusat Tarjih Muhammadiyah, Universitas Ahmad Dahlan.
Ibn Taymiyyah, Majmūʿ al-Fatāwā, (Madinah Munawwarah: Majmaʿ alMalik Fahd li Ṭibāʿah al-Muṣḥaf al-Syarīf, 2004).