Makna Bahasa
Kata isra’ merupakan kata asal (mashdar) dari kata kerja asraa-yusrii yang berakar dari kata saara-yasiiru yang berarti berjalan. Dari kata ini pula berasal kata siirah yang berarti biografi, karena memuat tentang riwayat perjalanan hidup seseorang, dan juga kata sayyaarah yang bermakna sekelompok orang yang sedang berjalan, seperti dalam surat Yusuf atau di era modern diartikan sebagai mobil, alat untuk berjalan.
Adapun kata mi’raaj, dari kata ‘araja-ya’ruju yang bermakna naik. Selain bermakna naik, ‘araja juga bermakna singgah, bentuk lainnya adalah kata a’raaj yang bermakna pincang. Kata lain serupa yang ditemukan dalam Al-Quran adalah ‘urjuun yang bermakna tandan, atau ma’arij yang bermakna tempat-tempat yang tinggi.
Masa Berduka dan Perintah Salat
Peristiwa Isra dan Mi’raj diabadikan dalam ayat pertama surat Al-Isra’, Allah –subhanahu wa ta’ala– berfirman, “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad -shallallahu ‘alayhi wa sallam-) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Peristiwa ini terjadi setelah ‘Amul Huzni (tahun kesedihan), yaitu masa dimana banyak kejadian menyedihkan yang dialami oleh Nabi, seperti wafatnya istri Nabi, Khadijah binti Khuwailid, dan wafatnya Abu Thalib ibn ‘Abdul Muṭṭalib, paman Nabi Muhammad, setelah wafatnya Khadijah. Kedua sosok ini adalah dua orang yang sangat setia mendukung dakwah Nabi Muhammad ketika periode Makkah dan menghadapi tekanan dari Kaum Quraisy. Sehingga perasaan Nabi Muhammad sebagai manusia biasa diliputi dengan kesedihan yang sangat mendalam.
Maka kemudian Allah memberikannya hiburan berupa perjalanan yang luar biasa, dari Makkah menuju al-Masjid al-Aqsha, yang disebut “isra’” kemudian diangkat ke langit ketujuh, yang disebut “mi’raj”. Sesampainya di langit ketujuh, Nabi diberi perintah untuk shalat.
Dalam peristiwa ini, Nabi tidak diberi perintah dari langit seperti halnya perintah ibadah atau wahyu lain, melainkan dirinya yang diangkat oleh Allah ke atas langit. Ini menunjukkan bahwa shalat merupakan ibadah yang mulia bagi umat Islam. Karena dalam pelaksanaan shalat terdapat banyak nilai yang tidak terbatas pada rutinitas spiritual, melainkan juga disiplin waktu. Karena seorang muslim wajib melakukan shalat sebanyak lima waktu dalam sehari.
Salat juga bukan hanya hubungan antara manusia dengan Tuhan, tapi juga hubungan sosial, ketika dilakukan berjamaah di masjid dalam lima waktu. Setiap orang yang shalat di masjid atau mushalla akan saling berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga kerap kali ada pertukaran kabar tentang jama’ah lain. Sehingga dengan rutinitas seperti ini akan diketahui bahwa seseorang sedang mengalami kesulitan, mungkin dalam kondisi sakit dan lain sebagainya.
Isra Mi’raj juga memberikan sebuah pelajaran berharga bahwa rasa duka itu akan terhapus dengan sebuah rutinitas berupa shalat yang dilakukan dengan khusyu, berikut dengan doa dan dzikir di dalamnya. Atau juga sebaliknya, rasa duka bisa jadi datang dari bagaimana kondisi seseorang dengan shalatnya, apakah tepat waktu atau tidak.
Meskipun shalat tentu bukan satu-satunya jalan mengobati rasa duka, akan tetapi shalat adalah satu hal yang mungkin bisa segera dilakukan seseorang selain berdoa dan berdzikir untuk memperoleh ketenangan batin.
Dalam peristiwa ini juga memberikan makna bahwa hubungan sosial atau horizontal sesama manusia (isra’) perlu untuk lebih didahulukan sebelum hubungan dengan Tuhan atau vertikal (mi’raj). Seorang muslim yang baik tidak cukup dibuktikan dengan kesalehan ritual spiritual, tetapi juga bagaimana kesalehan sosialnya, bagaimana interaksinya dengan sesama manusia.
Maka merapatkan shaf salat berjamaah lebih dahulu sebelum merapatkan batin kepada Tuhan ketika shalat. Tugas pemimpin salat adalah memastikan kerapatan shaf para jama’ah, sebagaimana seorang pemimpin memastikan adanya kesamaan persepsi atau niat orang lain yang dipimpinnya ketika shalat.
Dalam konteks bermuhammadiyah, seorang pimpinan Muhammadiyah perlu memastikan dan menamamkan ideologi muhammadiyah kepada para pimpinan lain, warga dan kader, agar terciptanya persepsi dan semangat yang sama dalam aktif bermuhammadiyah, sebelum beramal saleh secara kolektif dengan organisasi. (Faruqi)