MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Wakil ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustaz Adi Hidayat (UAH) menyampaikan makna peresmian masjid Al-Musannif ke-50, Tabligh Institute yang jatuh tepat di bulan rajab.
“Rajab itu punya arti awalnya at-takwim, masuk dari 1 dari 4 bulan elit yang diisyaratkan di Al-Quran, surah ke-9, ayat ke-36. Masjidnya awalnya mau nomor 36, tapi kan peresmiannya di rajab, dapatnya 50,” kata UAH dalam peresmian masjid Al-Musannif ke-50, Tabligh Institute pada Ahad (19/1).
UAH mengungkapan ketika peletakan batu pertama untuk pembangunan masjid Al-Musannif yang dinomori 36, ada 4 tokoh yang hadir dan 5 unsur dari Muhammadiyah, sehingga dijumlahkan menjadi 9. Bertemu pada Al-Qur’an Surah 9 ayat 36.
UAH melanjutkan, rajab memiliki makna takwim, yaitu sesuatu yang istimewa dan agung. Bahkan Allah SWT melarang hambanya melakukan tindakan negatif dan kontraproduktif. Bulan rajab menjadi gambaran dari pancaran islam yang hanif.
“Hanifnya dapat di rajab tadi dengan surah ke 9 ayat 36. 9 tokoh datang untuk harapan meresmikan masjid dengan nomor 36, tapi kok ketika dinomori resminya 50?,” imbuhnya.
Mengutip hadis, UAH menerangkan, peristiwa isra miraj sebagai sebuah perjalanan Nabi Muhammad SAW untuk menerima perintah salat yang berjumlah 50. Nabi Muhammad kembali untuk berkonsultasi dengan Nabi Musa sehingga dikurangi 5. Tetapi, kembali lagi ke-50 karena itu adalah ketetapan Allah SWT.
“Jadi, kalo kita bertanya kenapa diharapkannya 36, diresmikannya 50? Karena, ini adalah kehendak Allah SWT yang menjadikan semua ini hadir dengan nilai-nilai yang melekat di dalamnya,” jelas UAH.
UAH menilai masjid Musannif memiliki keistimewaan dibanding masjid lain dengan nama serupa. Kata ‘al’ berfungsi untuk mengkhususkan sesuatu sehingga tidak sama dengan lainnya. Jika terdapat 49 masjid bernama Musannif, maka yang ini spesial, berbeda dengan yang lain. Itulah kesempatan untuk menampilkan isi yang berbeda dari masjid Musannif yang telah diresmikan.
Ia berharap masjid Al-Musannif ke-50 yang baru diresmikan tidak menjadi bangunan hampa dan sekadar tempat ibadah.
“Ada tokoh-tokoh yang dilahirkan membawa semangat spiritual tabligh, orangnya disebut dengan mubaligh, dengan isian santri, keilmuan dan wawasan yang kokoh, dengan tujuan yang hanif. Kalau disatukan ketiganya itu, mubaligh santri yang hanif, maka ditemukanlah musannif,” ungkap UAH.
UAH juga mengutarakan bahwa mubaligh Muhammadiyah harus memiliki karakteristik wasatiyah-nya Muhammadiyah.
“Bagaimana kita merumuskan supaya mubaligh bukan sekadar jadi mubaligh tapi punya isian intelektualitas yang kokoh dengan penguatan spiritualitas yang baik, masuk kategori santri, tapi dengan karakteristik yang hanif. Itu ciri khasnya Muhammadiyah, wasatiyah yang kita butuhkan,” jelasnya. (adit)