MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat meresmikan Masjid Al-Musannif Ke-50 Tabligh Institute pada Ahad (19/01) menyampaikan amanat yang mendalam tentang visi Islam Berkemajuan. Salah satu poin utama dalam pidatonya adalah bagaimana Kiyai Dahlan mempelopori sistem pendidikan Islam modern yang menjadi fondasi bagi kemajuan Muhammadiyah.
Haedar menjelaskan bahwa sebelum era Kiyai Dahlan, lembaga pendidikan Islam seperti pesantren hanya berfokus pada pengajaran agama. Ilmu pengetahuan umum sering kali diabaikan, sehingga tidak dianggap relevan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Kiyai Dahlan membawa terobosan baru dengan mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan yang lebih modern.
“Saat itu lahirlah sekolah dan madrasah yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga ilmu pengetahuan yang berorientasi pada kehidupan,” ujarnya.
Haedar juga menyoroti ajaran Kiyai Dahlan tentang surah Al-Ma’un, yang diajarkan selama tiga bulan. Dari ajaran ini, Kiyai Dahlan mengembangkan berbagai gerakan sosial yang revolusioner, mulai dari pendirian rumah sakit, rumah yatim, dan rumah miskin. Gerakan tersebut kemudian melahirkan PKU Muhammadiyah pada 15 Februari 1923, yang menjadi PKU pertama di Yogyakarta dan juga sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah organisasi ini.
Haedar menegaskan bahwa Kiyai Dahlan sudah meletakkan pondasi untuk menghadirkan Islam sebagai agama yang berkemajuan. Setelah itu, Muhammadiyah berusaha untuk menjalankan apa yang dilakukan oleh Kiyai Dahlan lewat organisasi, tetapi hal tersebut tidak menjadi spirit yang progresif.
“Dulu, kita tidak mampu menerjemahkan apa yang dilakukan oleh Kiyai Dahlan, tetapi mampu untuk menyambungkan dan menindaklanjuti untuk menjadi sistem yang lebih baik. Dari situlah muncul konsep berkemajuan, konsep pencerahan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Haedar menjelaskan bahwa gerakan pencerahan itu lahir dari praksis Islam yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan. Semangat ini merujuk pada Ali-Imran 104 dan 110. Gerakan modern Muhammadiyah, menurut Haedar, tidak sepenuhnya mengadopsi gaya barat, melainkan melalui proses transendensi.
“Jika Negara Barat maju, mereka sering kali lepas dari iman. Modernitas di Barat, meskipun menghasilkan kemajuan IPTEK, demokrasi, dan humanisasi, juga memunculkan paham-paham seperti atheisme dan agnostisisme yang anti-agama dan anti-Tuhan,” jelas Haedar.
Hal ini, menurut Haedar, telah mendominasi dan mempengaruhi dunia Islam saat ini.
Haedar kembali memaparkan bahwa Islam karena tertutup oleh adanya dominasi Barat, menjadi lupa untuk dibangkitkan kecuali sebagai sekadar ‘kenangan.’ Namun, Kiyai Dahlan mampu mentransformasikan kejayaan Islam itu melalui sebuah gerakan nyata.
“Kiyai Dahlan mentransformasikan kejayaan Islam dengan merepresentasikan sejarah Islam dan sejarah awal Muhammadiyah sebagai dua elemen yang saling melengkapi,” ungkapnya.
Haedar juga menyinggung tantangan dakwah di era modern yang menghadapi perubahan sosial dan teknologi. Ia menekankan bahwa generasi muda membutuhkan sentuhan spiritual agar tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus globalisasi.
“Anak muda yang tidak disentuh oleh agama saat ini mulai mempertanyakan relevansi agama dalam hidup mereka. Di sinilah peran Muhammadiyah menjadi penting untuk menghadirkan dakwah yang relevan dan modern,” ungkapnya.
Diakhir Haedar mengajak seluruh kader-kader Muhammadiyah untuk terus membangun dengan semangat tanpa henti dan penuh keikhlasan.
“Meskipun ada kendala, hal itu justru akan mengokohkan jiwa irfani kita,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menyentuh generasi muda dengan santunan rohani agar mereka tidak kehilangan arah dan tetap yakin dengan agama. Orientasi dakwah, menurutnya, harus menyesuaikan perkembangan zaman dengan paradigma modern.
“Tabligh dan Tarjih harus terkoneksi dengan dakwah kultural dan komunitas untuk menghadapi tantangan, termasuk media sosial. Indonesia 2045 harus tetap diisi dengan dimensi iman dan akhlak,” pungkasnya. (ain)