Sebentar lagi umat Islam di seluruh dunia akan memperingati Isra Mi’raj. Dalam peristiwa yang luar biasa ini, Nabi Muhammad Saw menerima perintah langsung dari Allah untuk melaksanakan salat lima waktu. Peristiwa ajaib ini menjadi pengingat akan pentingnya salat sebagai tiang agama dan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Salat merupakan pilar kedua Islam setelah syahadat. Secara etimologis, salat berarti “koneksi” atau hubungan (ṣilah). Salat menggambarkan esensinya sebagai penghubung manusia dengan Sang Pencipta. Melalui salat, manusia diberi kesempatan untuk sejenak keluar dari hiruk-pikuk duniawi dan hanya fokus pada Allah semata.
Menurut Mohammad Elshinawy, salat laksana menyirami pohon iman dan melembapkan hati yang kering akibat kelelahan mengejar gemerlap duniawi. Bagi jiwa, salat adalah tempat berteduh di bawah rindangnya pohon di tengah terik kehidupan yang melelahkan. Ibadah ini menghidupkan kembali spiritualitas, mengingatkan manusia pada asal-usulnya dan tujuan utama keberadaannya di dunia.
Jika dilakukan dengan penuh penghayatan, dengan khusyuk, salat bukan sekadar ritual. Ibadah ini dapat menjadi penangkal dari perilaku menyimpang dan agresivitas hewani kita. Salat menjadi perbuatan paling esensial dalam menegaskan makna hidup manusia. Tanpa ritual ini, manusia seperti tubuh tanpa jantung, kehilangan inti keberadaannya.
Berbeda dengan upaya ritual yang bersifat teatrikal atau pengabdian pada kenikmatan duniawi semata, salat memberikan jalan autentik untuk berhubungan dengan Allah. Nabi Muhammad Saw mengajarkan salat sebagai ibadah yang terstruktur dengan lima waktu tertentu setiap hari.
Bagi sebagian orang luar salat tampak sebagai kewajiban yang melelahkan. Namun bagi Muslim yang merasakan kekhusyukannya, salat justru menjadi kebutuhan jiwa. Banyak di antara mereka bahkan menambah salat sunnah sebagai bentuk pengabdian lebih kepada Sang Pencipta.
Salat adalah bukti nyata dari keyakinan seseorang. Ia ibarat buah paling indah dari pohon iman, sekaligus menyimpan benih subur yang dapat menumbuhkan spiritualitas lebih dalam. Bahkan, tokoh besar seperti Paus Yohanes Paulus II mengungkapkan kekagumannya terhadap kesetiaan umat Muslim dalam menjalankan salat. Beliau memuji keteguhan mereka yang, tanpa memedulikan tempat atau waktu, bersujud kepada Allah.
Bagi umat Muslim, salat juga memberikan manfaat duniawi yang tak terelakkan. Menurut Mohammad Elshinawy, secara fisiologis, salat membantu menstabilkan jam biologis tubuh yang sangat penting bagi kesehatan. Salat subuh yang dilakukan sebelum matahari terbit, misalnya, menjaga keteraturan ritme sirkadian atau jam biologis tubuh. Nabi Saw bahkan menganjurkan untuk menghindari aktivitas sosial yang tidak perlu setelah salat isya (HR. Bukhari), yang berdampak pada pola tidur yang lebih sehat. Salat mengembalikan keseimbangan tubuh ini.
Secara psikologis, salat memberikan efek menenangkan yang mirip dengan meditasi. Gerakan salat yang tenang dan teratur, seperti rukuk dan sujud, menciptakan harmoni antara tubuh dan pikiran. Ditambah lagi, upaya menghafal dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dalam salat melibatkan proses kognitif yang melatih fokus dan pengendalian diri. Penelitian modern yang dilakukan Clay Routledge menunjukkan bahwa meditasi seperti ini mampu mengurangi efek stres harian dan meningkatkan ketahanan mental seseorang.
Selain itu, salat memiliki dampak emosional. Al-Qur’an menggambarkan hubungan antara ibadah dan kebahagiaan batin, terutama dalam mengatasi kesedihan dan keterasingan sosial. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman dalam QS. Al-Hijr ayat 97-98, “Kami benar-benar mengetahui bahwa dadamu terasa sempit disebabkan apa yang mereka katakan. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah di antara orang-orang yang bersujud.”
Penelitian modern yang dilakukan Raphael Bonelli, dkk. menguatkan hal ini. Mereka menunjukkan bahwa keterlibatan dalam komunitas keagamaan mampu memberikan dukungan emosional melalui tujuan bersama dan rasa saling mendukung.
Salat berjamaah, seperti yang dianjurkan oleh Nabi Saw (HR. Bukhari-Muslim), juga mengurangi rasa keterasingan yang sering dirasakan di kehidupan modern. Dalam salat berjamaah, Nabi Saw menganjurkan umat Muslim untuk merapatkan shaf (HR. Abu Dawud) dan berjabat tangan (HR. Tirmidzi).
Penelitian modern menunjukkan bahwa sentuhan fisik yang hangat memicu pelepasan oksitosin, hormon yang meningkatkan empati dan memperkuat hubungan antarindividu. Di tengah isolasi sosial yang kian meningkat, salat berjamaah menjadi solusi yang menghidupkan kembali nilai-nilai kebersamaan.
Dalam era modern yang serba individualis, salat menjadi solusi atas meningkatnya isolasi sosial, depresi, dan penyalahgunaan obat-obatan. Ketika banyak negara, seperti Inggris, menghadapi krisis kesepian dan keterasingan, salat menawarkan terapi kolektif yang memperkuat ikatan sosial.
Data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 2030, penyakit kardiovaskular dan depresi diproyeksikan menjadi masalah kesehatan utama. Dalam konteks ini, salat dapat menjadi penawar yang menenangkan. Salat menghubungkan manusia tidak hanya kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama.
Salat dapat menjadi perisai yang melindungi dari dampak buruk kehidupan modern. Ia tidak hanya menghidupkan jiwa, tetapi juga menyehatkan raga dan mempererat hubungan sosial. Di tengah dunia yang penuh tekanan, salat adalah jawaban bagi mereka yang mencari ketenangan, kebahagiaan, dan arah hidup.
Allah berfirman dalam QS Al-Qalam ayat 43, “Dan mereka dahulu selalu diajak untuk sujud, sedangkan mereka dalam keadaan sehat.” Berdasarkan ayat ini, salat adalah pelukan kasih dari Sang Pencipta yang menjaga manusia tetap berada di jalan yang lurus.
Referensi:
“Can You Kiss and Hug Your Way to Better Health? Research Says Yes” PennMedicine, January 8th, 2018, https://www.pennmedicine.org/updates/blogs/health-and-wellness/2018/february/affection, diakses pada Rabu, 15 Januari 2025.
Clay Routledge, “Five Scientifically Supported Benefits of Prayer,” Psychology Today, June 23rd, 2014, https://www.psychologytoday.com/intl/user/login?destination=/intl/blog/more-mortal/201406/5-scientifically-supported-benefits-prayer, diakses pada Rabu, 15 Januari 2025.
Mohammad Elshinawy, The Final Prophet Proofs for the Prophethood of Muhammad. Irving: Yaqeen Institute for Islamic Research, 2022.
Pope John Paul II dan Vittorio Messori, Crossing the Threshold of Hope (New York: Alfred A Knopf, 2005).
Raphael Bonelli, dkk., “Religious and Spiritual Factors in Depression: Review and Integration of the Research,” Depression Research and Treatment (2012).
Secretariat of the World Health Organization, “Global burden of mental disorders and the need for a comprehensive, coordinated response from health and social sectors at the country level,” World Health Organization, December 1st, 2011.