Kiblat merupakan arah yang wajib dituju oleh setiap Muslim dalam melaksanakan salat, yaitu Kakbah di Masjidil Haram, Mekah. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah,
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” [QS Al-Baqarah (2): 144].
Dengan demikian, kewajiban menghadap kiblat menjadi dasar utama dalam pelaksanaan ibadah salat.
Namun, bagaimana jika salat dilakukan di atas kendaraan yang sedang bergerak, seperti kapal laut, pesawat, atau kereta api?
Dalam hal ini, terdapat kelonggaran yang diberikan oleh syariat dengan tetap mengedepankan asas kemudahan bagi umat. Jika seseorang berada di atas kapal laut, misalnya, dan telah mengetahui arah kiblat saat memulai salat, maka ia hendaknya menghadap ke kiblat tersebut. Akan tetapi, jika kapal berbelok arah selama salat berlangsung, orang tersebut tidak perlu membetulkan arah salatnya. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa agama tidak ingin menyulitkan.
Pendapat ini didukung oleh hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Anas bin Mālik, “Bahwa Rasulullah saw apabila safar dan hendak mengerjakan salat sunat, beliau menghadap kendaraannya ke kiblat, lalu bertakbir, kemudian terus salat ke arah mana kendaraannya menuju” [HR Abu Dawud].
Hadis ini menegaskan bahwa saat dalam perjalanan, kiblat tidak menjadi syarat mutlak selama kondisi tidak memungkinkan untuk menyesuaikan arah.
Situasi serupa juga berlaku bagi orang yang salat di dalam pesawat atau kereta api. Ketika kendaraan sedang bergerak, salat cukup dilakukan sesuai dengan posisi kursi atau arah duduk. Dalam hal ini, menyerongkan posisi tubuh di kursi demi menghadap kiblat sering kali tidak memungkinkan tanpa menimbulkan kesulitan.
Hal ini mengacu pada hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, “Rasulullah saw salat di atas kendaraannya menghadap ke arah mana kendaraannya menghadap” [HR Muslim].
Namun, jika seseorang menggunakan kendaraan pribadi atau menyewa kendaraan yang dapat berhenti, maka ia dianjurkan untuk menepi, mencari tempat salat seperti masjid atau musala, dan melaksanakan salat dengan cara normal, yaitu menghadap kiblat. Meski demikian, apabila kondisi tidak memungkinkan untuk berhenti, misalnya karena dikejar waktu keberangkatan kereta atau pesawat, ia diperbolehkan salat di kendaraan sesuai kondisi yang ada.
Bagi orang yang tidak mengetahui arah kiblat karena keterbatasan informasi atau kondisi tertentu, ia cukup menghadap ke arah yang ia yakini sebagai kiblat. Allah Swt berfirman, “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” [QS Al-Baqarah (2): 115].
Prinsip yang terkandung dalam pelaksanaan salat di atas kendaraan adalah asas kemudahan dalam beragama. Syariat Islam memahami adanya situasi darurat yang memungkinkan seseorang untuk melaksanakan ibadah dengan cara yang lebih fleksibel, tanpa menghilangkan inti dari ibadah tersebut.
Referensi:
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Tuntunan Salat Lima Waktu”, Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 03/2015-2020/Rabiul Akhir 1439 H/Januari 2018 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2018.