MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengungkapkan bahwa dalam menghadapi fenomena beragama saat ini, kita harus menghadirkan agama Islam yang mendalam, kaya dan luwes.
“Kita harus menjadi suluh dalam beragama yang tetap kokoh dalam hal akidah, ibadah dan akhlak,” ujar Haedar dalam Dialog Ideopolitor Muhammadiyah Regional Jawa-Kalimantan 1 pada Senin (27/1) di Dormitory Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Selain menjadi pribadi yang kokoh dalam beragama, Haedar mengingatkan untuk tidak mengabaikan lingkungan sekitar.
“Kemudian pada saat yang sama, menyumbangkan kehidupan muamalah duniawiyah,” imbuhnya.
Mengacu pada cara beragama dan berdakwah Kiyai Ahmad Dahlan, menurutnya, Kiai Dahlan juga banyak melakukan dekonstruksi. Dalam artian, misalnya, membongkar kenapa orang menolak kebenaran. Karena manusia pada dasarnya suka dan senang dengan apa yang sudah dia pikirkan selama ini. Mengapa orang menolak kebenaran pada dasarnya orang bodoh atau ia tidak suka terhadap orang yang membawa kebenaran itu.
Maka, Kiai Dahlan menawarkan konsep bahwa agama itu mencerahkan, bercahaya, tetapi manusia pengikut agama itu yang bodoh dan menjadikan agama redup. Hal ini bertentangan dengan ciri manusia muslim yang ulil albab, yaitu seorang muslim yang mau mendengar pernyataan atau pikiran orang lain.
Haedar menekankan bahwa Muhammadiyah merupakan bagian dari Islam yang turut membangun peradaban.
“Islam itu membangun peradaban. Maka kalo Muhammadiyah merumuskan gerakan Islam pencerahan, gerakan islam berkemajuan, kemudian dari situ membangun peradaban khaira ummah, itu sesungguhnya bagian dari islam,” jelas Haedar.
Jika membaca sosiolog Peter Berger, ia mengungkap istilah agama sebagai kanopi suci (the sacred canopy). The sacred canopy berarti bahwa di tengah gelombang kehidupan di mana manusia modern resah tentang berbagai hal, lalu agama harus hadir menjadi kanopi suci. Tempat orang berlindung dari panas dan hujan.
Untuk menghadapi fenomena beragama masa kini, Haedar menegaskan bagaimana menghadirkan islam dengan mendalam, kaya dan luwes. Supaya agama itu tidak menjadi faktor judgement semata-mata apalagi judgement yang kering.
“Karena agama itu punya kekuatan sakralisasi dan glorifikasi yang sampai ke ilahi. Jadi, kalau kita bertindak terlalu gegabah dalam kehidupan mengatasnamakan agama, maka dampaknya meluas,” tegas Haedar. (Adit)