MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Mengutip At-Thabari, QS. Al-Baqarah ayat 256-257 diturunkan terkait seorang lelaki Anshar dari Bani Salim bin ‘Awf, yang disebut sebagian riwayat bernama al-Hushayn. Lelaki Muslim ini memiliki dua anak lelaki yang berpegang pada agama Nasrani, sementara dirinya telah memeluk Islam.
Ibn ‘Awf mendatangi Nabi Muhammad Saw. untuk bertanya, “Tidak perlukah aku memaksa mereka, karena mereka tetap enggan memeluk Islam?” Sebagai jawaban atas pertanyaan ini, Allah menurunkan ayat tersebut.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ustadi Hamsah dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (22/01) menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan prinsip agung dalam Islam: “Laa ikraha fid-din” (tidak ada paksaan dalam agama).
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 256, Allah SWT memberikan kebebasan memilih, apakah seseorang akan mengikuti Islam sebagai agama yang haq atau tetap pada jalannya. Penegasan ini muncul karena kebenaran sudah sangat jelas—mereka yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah ibarat berpegang pada tali yang kokoh, yang tak akan pernah putus.
Sementara itu, ayat 257 menegaskan peran Allah SWT sebagai pelindung orang-orang beriman, membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya. Sebaliknya, thagut adalah pelindung orang kafir, yang membawa mereka dari cahaya menuju kegelapan.
Menurut Ustadi, frasa “Laa ikraha” dalam ayat ini menunjukkan syiyagh al-umum, yaitu larangan segala bentuk paksaan. Sedangkan “fi al-din” bermakna tidak ada paksaan dalam menjalankan agama, dengan tetap memahami konteks.
Larangan paksaan ini bukan berarti membebaskan individu dari tanggung jawab terhadap aturan Islam. Bagi ahl al-dzimmah, ketundukan pada aturan Islam adalah keharusan dalam batas-batas tertentu. Dakwah Islam, sesuai dengan ayat ini, menekankan pendekatan persuasif yang mengutamakan penyadaran, bukan pemaksaan.
Dakwah yang Membangun Kesadaran
Ustadi menerangkan bahwa prinsip tidak adanya paksaan dalam agama mencerminkan misi dakwah Islam yang humanis. Islam memandang dakwah sebagai media untuk menyadarkan manusia tentang kebenaran hakiki (al-rusyd).
Kebenaran ini sangat berbeda dengan berbagai bentuk kesesatan seperti al-ghayy (kebingungan), al-khaybah (kegagalan), atau suluk thariq al-halak (menempuh jalan kehancuran). Dengan dakwah yang mengutamakan pendekatan persuasif, umat Islam diajak untuk memahami nilai-nilai luhur Islam tanpa tekanan, melainkan dengan kesadaran.
Menurut Ustadi, pokok kandungan ayat ini mengandung dua pelajaran penting. Pertama, dakwah Islam tidak memaksa, tetapi berupaya membangun kesadaran kolektif bahwa keragaman adalah sunnatullah. Keanekaragaman manusia adalah bagian dari rencana Allah untuk menciptakan harmoni di tengah perbedaan.
Kedua, dakwah juga mengajak umat untuk memperkuat komitmen dalam berpegang teguh pada ajaran Islam secara utuh. Dalam konteks ini, Islam diibaratkan sebagai cahaya yang membimbing manusia untuk mengatasi sisi gelap dalam diri (shadow self) dan mengubahnya menjadi naluri positif (archetype).