MUHAMMADIYAH.OR.ID, KUALA LUMPUR — Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mohammad Syifa Amin Widigdo menyampaikan kuliah tamu di Universiti Malaya pada Kamis (5/12). Dalam kuliahnya, Syifa membahas identitas komunitas Muslim serta perubahan dan tantangan yang dihadapinya di era modern.
“Mungkin sedikit banyak akan melanjutkan diskusi tentang identitas, tapi yang kita bincangkan adalah identitas komunitas Muslim. Sebelum itu, saya ingin bertanya: siapa yang tak tahu tokoh-tokoh seperti Steve Jobs, Bill Gates, atau Einstein?” tanya Syifa kepada peserta kuliah.
Syifa menghubungkan pertanyaan ini dengan ilustrasi bagaimana teknologi seperti iPhone, MacBook, dan mobil Tesla telah menjadi simbol kemajuan modernitas yang sering kali memengaruhi pandangan masyarakat terhadap identitas diri.
Dalam pembahasannya, Syifa menggambarkan reaksi beragam masyarakat terhadap modernitas. Ia mengangkat contoh hipotetis: “Bayangkan kalau kita pulang ke kampung naik Tesla sambil membawa iPhone, lalu menunjukkan kecanggihan teknologi,” ucapnya.
Menurutnya, reaksi masyarakat kampung bisa bermacam-macam. Ada yang kagum, tetapi ada pula yang merasa hal tersebut terlalu sombong dan bertentangan dengan nilai tradisional mereka. “Apakah masyarakat akan menganggap itu sebagai sesuatu yang mengagumkan atau justru melihatnya sebagai kesombongan yang bertentangan dengan nilai tradisional?”
Syifa kemudian membandingkan situasi tersebut dengan sejarah umat Islam saat menghadapi modernitas pertama kali, khususnya setelah runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun 1924. “Saat itu, umat Islam di seluruh dunia merasa kalah. Penjajahan dan kolonialisme masuk ke berbagai wilayah Muslim, dari Afrika hingga Asia. Ini adalah kali pertama umat Islam menghadapi modernitas dalam bentuk militer dan teknologi yang jauh lebih maju,” jelasnya.
Ia menjelaskan dua respons utama umat Islam terhadap tantangan modernitas. “Ada yang mengambil pendekatan tradisional, menolak segala sesuatu yang berasal dari dunia modern karena dianggap berasal dari orang kafir. Namun, ada pula yang berusaha memahami kelemahan umat Islam melalui pendekatan rasional,” ungkapnya.
Syifa menyebut nama tokoh reformis seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. “Mereka bertanya, apa yang salah dalam masyarakat Muslim? Apakah pemahaman kita yang keliru atau ada masalah dalam cara berpikir kita?” tambahnya.
Syifa menyoroti pentingnya berpikir rasional dalam menghadapi tantangan modernitas. Ia mengkritik pendekatan takhayul yang masih ditemukan di berbagai komunitas Muslim. “Cara berpikir mythical atau superstition, seperti mengaitkan hujan dengan pemasangan cabai untuk mengusir awan, adalah contoh nyata bagaimana sebagian komunitas masih menggunakan pendekatan yang tidak rasional,” tegasnya.
Dalam konteks keagamaan, Syifa juga menekankan perlunya pendekatan yang lebih mendalam dan kritis. “Ketika kita mencari jawaban soal hukum agama, misalnya tentang menjamak atau mengqasar salat, kita sering hanya merujuk pada mazhab-mazhab terdahulu tanpa memahami konteks atau alasan di balik fatwa mereka,” ujarnya.
Kuliah tamu ini memberikan wawasan kepada mahasiswa Universiti Malaya tentang bagaimana komunitas Muslim dapat menghadapi tantangan identitas di era globalisasi. Syifa menutup kuliahnya dengan ajakan untuk mengedepankan nilai-nilai Islam yang universal dan mengintegrasikannya dengan pemikiran rasional.
“Modernitas bukanlah ancaman jika kita mampu memahami dan menyikapinya dengan bijak,” pungkasnya.