MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Hari Ibu menjadi salah satu momen penting untuk merefleksikan peran perempuan dalam perjalanan sejarah Indonesia hingga tantangan masa kini. Dalam Lensamu Podcast pada Jumat (28/12), Wakil Ketua Majelis Tabligh & Ketarjihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Adib Sofia, mengupas isu perempuan dari perspektif sejarah perjuangan perempuan Indonesia.
Adib membuka perbincangan dengan menggambarkan realitas perempuan di masa lalu, khususnya pada masa penjajahan. “Bangsa Indonesia pernah mengalami situasi kelam di mana perempuan dianggap sebagai the second sex, istilah yang diambil dari Simone de Beauvoir. Dalam konteks lokal, mereka dikenal sebagai konco wingking, yang hanya diposisikan di belakang, tanpa peran signifikan dalam kehidupan sosial, apalagi politik,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, salah satu isu besar yang dialami perempuan pada masa itu adalah praktik pernikahan dini, perceraian sepihak, dan terbatasnya akses pendidikan. “Perempuan hidup dalam keterbatasan ruang gerak, baik secara budaya maupun struktural. Mereka hanya dianggap pelengkap kehidupan rumah tangga tanpa suara dalam pengambilan keputusan,” ujar Adib.
Kesadaran akan perlunya perubahan mulai muncul pada awal abad ke-20. Perjuangan perempuan Indonesia mencapai puncaknya melalui Kongres Perempuan Pertama pada tahun 1928, yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu setiap 22 Desember. Kongres ini menjadi tonggak penting dalam menyatukan berbagai organisasi perempuan di Nusantara, baik dari kalangan Islam, nasionalis, maupun kelompok lainnya.
Adib menyoroti pidato Munjiah, salah satu tokoh penting dalam Kongres Perempuan Pertama, yang menjadi bukti kuatnya perjuangan intelektual perempuan saat itu.
“Munjiah menyampaikan gagasan yang luar biasa ilmiah, tanpa mengutip dalil agama, tetapi menggunakan data perbandingan dari berbagai negara seperti Amerika, India, dan Cina. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan perempuan bersifat universal, melampaui batas agama dan budaya,” jelasnya.
Namun, Adib juga mengakui adanya perbedaan pandangan di antara organisasi perempuan saat itu, terutama yang berbasis Islam. “Misalnya, ‘Aisyiyah tetap konsisten dengan prinsip Islam seperti menutup aurat, tetapi mereka terbuka terhadap dialog dan pembaruan. Di satu sisi, ada organisasi lain yang menekankan pembebasan perempuan secara lebih liberal,” ujarnya.
Dalam pandangan Adib, Aisyiyah telah menunjukkan jalan tengah dalam perjuangan perempuan. Ia menyebut organisasi ini tidak hanya fokus pada isu gender, tetapi juga pendidikan, kesehatan, dan dakwah sebagai bentuk kontribusi nyata bagi masyarakat. “Aisyiyah membangun sekolah, rumah sakit, dan berbagai amal usaha yang bertujuan memberdayakan perempuan dan keluarga,” tambahnya.
Tidak hanya membahas sejarah, Adib juga mengulas tantangan perempuan di era modern. “Kini perempuan sudah memiliki ruang untuk berkontribusi di berbagai bidang, tetapi tantangan baru muncul, seperti tuntutan multitasking yang sering membebani perempuan sebagai ibu, pekerja, dan anggota masyarakat,” ungkapnya.
Adib mengingatkan pentingnya kesetaraan gender yang tidak sekadar simbolis, tetapi memberikan akses yang adil bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan bangsa.
Dalam refleksinya, Adib menekankan bahwa perempuan Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip dan identitas, meski terus bergerak mengikuti perubahan zaman. “Kita harus berlari sesuai zaman, tetapi tidak boleh kehilangan arah. Prinsip keislaman tetap menjadi pijakan dalam setiap langkah perjuangan kita,” ucapnya.