Dalam Islam, laki-laki dan peremouan ditempatkan pada posisi yang sejajar di hadapan Allah. Tidak ada superioritas atau subordinasi, melainkan peran yang saling melengkapi. Perbedaan fitrah di antara keduanya bukan untuk menempatkan salah satu lebih unggul, melainkan untuk menjalankan fungsi masing-masing di ranah domestik maupun publik.
Prinsip ini ditegaskan dalam Al-Quran melalui lima aspek utama. Apa saja? Berikut ulasannya.
Pertama, laki-laki dan perempuan adalah hamba Allah yang setara. Keduanya memiliki tugas utama yang sama, yaitu beribadah kepada-Nya. Kesempatan untuk beriman dan beramal salih juga terbuka lebar bagi siapa saja tanpa membedakan jenis kelamin. Yang membedakan di sisi Allah hanyalah kualitas iman, takwa, dan amal salih.
Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. adz-Dzariyat (51): 56, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Bahkan, Al-Quran secara eksplisit menjamin keadilan bagi keduanya dalam meraih surga, seperti dalam Q.S. an-Nisa’ (4): 124, “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal salih, baik laki-laki maupun perempuan… maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.”
Kedua, laki-laki dan perempuan adalah khalifah di muka bumi. Laki-laki dan perempuan memiliki wewenang yang sama untuk mengelola dan memakmurkan dunia sesuai dengan kemampuan dan potensi masing-masing.
Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah (2): 30, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” Ayat ini menunjukkan bahwa tugas kekhalifahan tidak eksklusif untuk laki-laki, melainkan berlaku bagi semua manusia tanpa kecuali.
Ketiga, kisah penciptaan Adam dan Hawa juga mencerminkan kesetaraan peran mereka. Dalam narasi Al-Quran, Adam dan Hawa bersama-sama mengalami godaan, melanggar perintah Allah, dan akhirnya memohon ampun kepada-Nya.
Ayat-ayat seperti Q.S. al-Baqarah (2): 35 dan Q.S. al-A’raf (7): 22 menggunakan kata ganti untuk keduanya (huma) secara kolektif. Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah aktor yang setara dalam peristiwa tersebut. Hal ini juga menegaskan bahwa tanggung jawab moral dan spiritual tidak dibebankan hanya kepada salah satu pihak, melainkan keduanya berbagi peran secara adil.
Keempat, laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk meraih kesuksesan. Dalam Al-Quran, Allah memberikan penghargaan terhadap prestasi tanpa memandang jenis kelamin.
Hal ini dijelaskan dalam Q.S. an-Nahl (16): 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia beriman, maka sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik…” Ayat ini menegaskan bahwa kesuksesan adalah hak bagi siapa saja yang berusaha, tanpa batasan gender.
Kelima, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum. Sanksi atas pelanggaran hukum berlaku bagi keduanya tanpa diskriminasi.
Misalnya, hukuman bagi pezina dalam Q.S. an-Nur (24): 2 dan sanksi bagi pencuri dalam Q.S. al-Maidah (5): 38. Prinsip ini menunjukkan bahwa tanggung jawab dan konsekuensi hukum tidak hanya menjadi beban salah satu pihak, melainkan berlaku secara adil untuk semua.
Kesetaraan ini, jika benar-benar diterapkan, akan membawa Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi landasan dalam membangun keluarga dan masyarakat yang harmonis, di mana laki-laki dan perempuan saling mendukung sesuai dengan peran dan kapasitasnya. Dalam konteks modern, nilai-nilai ini relevan untuk terus dikedepankan.
Referensi:
Pimpinan Pusat muhammadiyah, “Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 08/2010-2015/Syawal 1436 H/Agustus 2015 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2015.