MUHAMMDIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Adib Sofia, menekankan bahwa meski perjuangan emansipasi perempuan sudah berjalan panjang, masih ada kecenderungan yang mencoba mengembalikan perempuan ke ranah domestik.
“Kalau dulu kita memperjuangkan perempuan keluar dari sumur, dapur, dan kasur, sekarang malah muncul wacana yang mengglorifikasi perempuan hanya dalam ranah rumah tangga,” tegas Adib Sofia dalam Lensamu Podcast pada Jumat (27/12).
Adib juga mengkritisi kampanye pernikahan muda yang dilakukan oleh beberapa influencer muda. Ia mengatakan bahwa hal tersebut tidak sejalan dengan visi pemberdayaan perempuan yang telah lama diperjuangkan.
Menurut Adib, banyak platform media sosial yang secara tekstual mendorong narasi domestikasi perempuan. Namun, ia mengingatkan bahwa ajaran Islam tidak membatasi perempuan hanya di ranah domestik.
“Ayat-ayat tentang sedekah, pemberdayaan masyarakat, dan amar makruf nahi mungkar itu berlaku untuk semua, baik laki-laki maupun perempuan. Kiprah sosial adalah hak dan kewajiban kita bersama,” jelasnya.
Dalam diskusi ini, Adib juga menekankan prinsip kesalingan antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam kehidupan rumah tangga. Ia mencontohkan bagaimana dirinya dan suami saling mendukung dalam kegiatan dakwah.
“Saya yang berbicara di depan, suami saya yang menyiapkan data dan presentasi. Ini bentuk kesalingan yang perlu kita terapkan dalam keluarga,” ungkapnya. Ia menambahkan bahwa konsep kesalingan ini juga menjadi salah satu nilai utama yang diajarkan dalam Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.
Adib tak lupa mengingatkan tentang esensi kesetaraan gender dalam Islam. Menurutnya, isu feminisme sering kali disalahpahami, padahal ada banyak kesamaan nilai yang sejalan dengan ajaran Islam. Namun, ia menegaskan bahwa Islam memiliki prinsip yang lebih maju dan komprehensif dalam memandang peran perempuan.
Dalam diskusi tersebut, Adib Sofia juga menyinggung tradisi “Mother’s Day” yang sering dirayakan di berbagai belahan dunia sebagai bentuk penghormatan kepada para ibu. Ia menjelaskan bahwa meskipun inti perayaan tersebut berupa apresiasi terhadap peran ibu, terdapat perbedaan budaya yang signifikan dalam cara memperingatinya.
Di negara-negara Barat, misalnya, “Mother’s Day” cenderung diperingati secara simbolis dengan memberikan hadiah atau kartu ucapan sebagai bentuk rasa cinta. Tradisi ini sering kali dikaitkan dengan budaya konsumerisme, di mana perayaan tersebut dimanfaatkan oleh industri untuk mendorong peningkatan penjualan produk seperti bunga, perhiasan, dan kartu ucapan.
Sementara itu, di masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, penghormatan kepada ibu lebih sering diwujudkan melalui tindakan yang berkelanjutan dan nilai-nilai yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Islam mendorong umatnya untuk menghormati ibu setiap saat, bukan hanya pada hari tertentu, sebagaimana tercermin dalam ajaran Nabi Muhammad yang menempatkan ibu pada posisi yang sangat mulia.
Adib menekankan bahwa Islam tidak melarang bentuk perayaan seperti “Mother’s Day,” tetapi mengingatkan agar umat tidak terjebak pada formalitas perayaan yang hanya dilakukan sekali setahun. Ia juga menekankan pentingnya menjadikan masyarakat lebih baik sesuai dengan spirit Islam, “minzulmati ila nur, dari kegelapan menuju cahaya.”